Oleh:
Ahmad Doli Kurnia, Anggota DPR RI, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI
Tintaindonesia.id, Opini — Perjuangan mewujudkan genuine election (Pemilu Bermartabat) wajib melibatkan partisipasi banyak pihak. Tak hanya penyelenggara yang berjibaku dengan urusan Pemilu, melainkan juga pemerintah, DPR, akademisi, media, kampus, dan pegiat Pemilu, adalah para aktor yang berperan penting dalam mendesain sistem Pemilu terbaik. Salah satu pintu menuju perbaikan Pemilu adalah melalui perubahan UU Pemilu.
Perjalanan menuju perubahan atau revisi UU Pemilu, sebagai norma dasar penyelenggaraan Pemilu, telah berlangsung lama. Terutama sejak dilaksanakannya Pemilu serentak (di 2019 dan 2024). Pemilu serentak yang lazim disebut Pemilu Lima Kotak ini memang mengundang banyak kritik serta evaluasi. Pemiu 2019 dan 2024 disebut-sebut sebagai Pemilu paling rumit dan kompleks sedunia.
Di sebut rumit karena berbagai elemen yang ada pada tiga jenis Pemilu kita dilaksanakan berdekatan bahkan berhimpitan. Pilihan sistem proporsional dengan daftar terbuka dengan begitu banyak calon digabungkan dengan Pemilihan Presiden; yang berkonsekuensi dengan banyaknya jenis kertas suara, membuat rakyat kita “dipaksa” untuk mengeluarkan energi politiknya dalam waktu yang sama dan singkat. Belum lagi jika kita menghitung dampak lanjutannya, seperti adanya pelanggaran, perselisihan, dan sengketa. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah ternyata dampak dari kerumitan itu telah pernah pula menelan banyak korban jiwa, terutama penyelenggara, seperti di tahun 2019.
Baca : Pacu Jalur Putusan MK (Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal)
Menjadi wajar jika kemudian lahir berbagai aspirasi, untuk mengubah, memperbaiki, atau bahasa yang lebih tepat adalah menyempurnakan Sistem Pemilu. Keinginan yang semakin meluas ini tentu berbasis pada niat dan tujuan yang baik. Pintu masuk untuk mengakomodasi semua permohonan perbaikan itu, memang berada di DPR dan Pemerintah. Sebagai pihak yang diberikan kewenangan konstitusional untuk membuat Undang-Undang (termasuk Undang Undang Pemilu), DPR dan pemerintah berperan melakukan constitusional engineering (rekayasa konsititusional).
Walaupun demikian, produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR seharusnya adalah sebuah resultante politik. Yang lahir dari dialektika, perdebatan, saling uji secara terbuka, dimulai dari adanya pelibatan partisipatif publik.
Pada situasi itulah dituntut adanya sikap terbuka, saling menghargai, dan menghormati perbedaan pendapat. Pastilah banyak berbagai usulan, masukan, saran, dan rekomendasi penting yang akan disampaikan masuk dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu yang baru nanti.
Kitapun semua berharap tidak ada tafsir tunggal yang tidak memberikan kebebasan kepada kita untuk mengkaji berbagai pilihan-pilihan perbaikan. Begitu pula juga pada saat kita harus menyikapi Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang inti pokoknya adalah perlu adanya pengaturan keserentakan pada Pemilu kita.
Tentu kita pun harus menghormati bermunculannya berbagai perspektif, pro dan kontra yang terjadi. Sikap yang terbaik adalah berupaya menempatkan putusan ini menjadi bagian dalam kajian yang cukup mendalam secara ilmiah/akademik. Melakukan pencermatan secara hati-hati, menggali berbagai aspek dan kemungkinan, menelusuri dan menghitung dampak, serta mengaitkannya dengan variabel lain, yang masih banyak perlu penyempurnaan pula.
Baca juga : Permanent Campaigning: Strategi Politik Era Digital di Indonesia
Secara pribadi, saya telah lama mendesak agar pembahasan penyempurnaan UU Pemilu segera dilaksanakan. Agar tersedia waktu yang cukup waktu, baik dalam proses penyempurnaannya maupun sosialisasinya, sebelum diterapkan pada Pemilu 2029 nanti. Saya pun juga mengikuti secara intensif munculnya berbagai aspirasi, baik dalam bentuk percakapan publik, dialog, kajian akademik, studi lapangan, hingga usulan konsep-konsep baru.
Saya menilai, lahirnya buku yang berjudul “Demokrasi Fluktuatif, Lika Liku Revisi Undang Undang Pemilu” ini, menemukan momentumnya. Hadir di tengah terjadinya dialektika tentang urgensi penyempurnaan Sistem Pemilu Indonesia.
Buku ini ditulis oleh dua orang kader HMI, yang selama ini tekun dalam melakukan kajian ilmiah, khususnya pada isu kepemiluan. Keduanya juga punya pengalaman sebagai praktisi kepemiluan, pernah menjadi Anggota KPU dan Anggota Bawaslu di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
Jadi, buku ini bukan hanya berisi tentang gagasan yang lahir dari hasil bacaan dan analisi berfikir dari banyak teori, namun juga menghadirkan hasil refleks pengalaman empiris sebagai praktisi kepemiluan. Insya Allah bermanfaat.
Artikel ini bagian Kata Pengantar buku Demokrasi Fluktuatif, oleh Endi Biaro dan MK Ulumudin.