Akar Masalah Bongkar Pasang Sistem Pemilu

Opini, Uncategorized28 Dilihat

Oleh: Endi Biaro, Peneliti Senior LSDP (Lembaga Studi Demokrasi dan Pemilu)

Tintaindonesia.id, Opini — Sepanjang sejarah, hanya Undang Undang Pemilu yang paling banyak dilakukan uji materi. Menurut Kepala Biro Hukum Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, UU Nomor 7 Tahun 2017, mengalami 152 kali peninjauan kemali (atau judicial review). Sementara buku Reformasi Pemilu Jalur Mahkamah Konstitusi, menghitung ada 18 putusan MK yang mengubah, menghapus, memberi norma baru, terhadap UU Pemilu.

Media online yang khusus mengangkat isu-isu hukum, yakni hukumonline, juga memaparkan hal sama, bahwa UU Pemilu adalah undang-undang yang paling banyak dipermasalahkan. Tak heran jika Perludem menyebut istilah compang-camping, terhadap UU Pemilu.

Apa pasal?

Menurut Prof Lili Romli, dalam buku Pemilu Era Reformasi, bongkar pasang Undang Undang Pemilu terjadi sejak era reformasi. Sebelumnya, paket regulasi yang mengatur Pemilu di era Orde Baru, relatif ajeg dan baku. Pun di era Orde Lama, karena hanya satu kali Pemilu (Tahun 1955), dasar hukum tak mengalami banyak perubahan, hanya proses pembentukan yang lama, sejak era Kabinet Wilopo sampai dengan Burhanuddin Harahap.

Dewan pakar LIPI ini menyebutkan penyebab bongkar pasang UU Pemilu karena pemerintah dan DPR tidak fokus kepada perbaikan system, melainkan saling mengamankan posisi dan kepentingan masing-masing. Meski demikian, Lili Romli mencatat, ada keteguhan semua pihak, untuk menerapkan Pemilu dengan sistem proporsional, dan tidak perna bergeser ke sistem distrik.

Di sisi lain, perubahan atau revisi Undang Undang Pemilu memilki raison d’ etre (rasionalisasi) yang niscaya. Dinamika politik yang keras, perubahan peta politik, tuntutan penyesuaian, dan ledakan aspirasi publik, menjadi faktor lain, yang membuat undang-undang Pemil kerap berubah. Hanya saja, jika faktor-faktor tersebut yang jadi alasan, mengapa di dunia internasional, perubahan Undang Undang Pemilu jarang terjadi.

Masalah ini pernah diungkapkan di forum Introduction to The Indonesian Legislative Election. Saat itu, salah satu diplomat yang mejadi duta besar di Indoensia merasa heran dengan aturan hukum Pemilu di Indonesia, yang selalu berubah-ubah. Di berbagai negara, terjadi perubahan suasana politik, peta kekuatan partai, perkembangan teknologi, tetapi jarang terjadi revisi dan perubahan besar-besaran dalam sistem Pemilu (sumber: detik.com 1 April, 2024).

Pertanyaan besar adalah apakah tidak bisa melahirkan undang-undang Pemilu yang benar-benar menghadrikan kaidah genuine election atau fair election (Pemilu ideal, bersih, fair, dan jujur)?

Padahal begitu banyak referensi, sebagai bahan kajian, perbandingan, serta bedah kasus, untuk menghadirkan Pemilu yang memenui asas kepastian hukum, berkeadilan, serta mencerminkan asas kedaulatan rakyat.

Putusan MK tentang Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, yang terbit baru-baru ini (25 Juni 2025), mestinya menjadi momentum, untuk menyiapkan desain sistem Pemilu yang lebih permanen, menjangkau seluruh aspek, dan lebih menekankan pada substansi, yakni sistem Pemilu yang fair, genuine, dan berintegritas.

Tradisi bongkar pasang, atau perubahan pada aspek incremental (separo, sebagian), kerapkali mendatangkan efek ketidakpuasan pasca penyelenggaraan. Selama ini, perubahan kerapkali muncul dari arah politis dan jangka pendek.

Menurut kajian Pramono U Tanthowi et. al, dalam buku Tata Kelola Pemilu d Indonesia (KPU, Jakarta, 2019), perubahan desain Pemilu ditentukan oleh faktor aktor, konteks, dan situasi eksternal. Menurutnya, banyak faktor yang berkontribusi dalam perubaan sistem Pemilu. Diantaranya: elit partai politik, kelompok kepentingan, pemerintah, akademisi, dan pemerintah.

Jika kita menganalisis usulan perubahan atau agenda revisi UU Pemilu misalnya, maka terkesan terjadi perbedaan dari waktu ke waktu. Padahal perubahan sistem Pemilu idealnya harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yakni perekayasaan Pemilu (electoral engineering) yang mengusung kepentingan bersama.

Regulasi hukum menentukan corak dan sistem Pemilu. Karena aspek fundamental dari sistem Pemilu adalah kerangka hukum dan aturan main. Mengingat Pemilu adalah kompetisi politik yang dilembagakan, maka jaminan kepastian hukum menjadi penting, di semua aspek dan elemen kepemiluan. Jika diurai, sistem Pemilu berpatokan kepada hal-hal berikut ini

Lantas sebenarnya seperti apa sistem Pemilu terbaik?

Per definisi, para ahli memiliki ragam pendekatan untuk memberi makna terhadap sistem Pemilu. Hakekatnya, sistem Pemilu adalah: bagaimana cara suara diberikan dan bagaimana kursi yang tersedia dibagikan. Atau kurang lebih, sistem pemilu mengkonversi pemberian suara menjadi kursi yang dimenangkan oleh kandidat (Partai Politik atau calon).

Sementara itu DR. Ferry Daud Liando, Dekan FISIP Universitas Sam Ratulangi Manado, menyebut sistem Pemilu sebagai sekumpulan aturan yang menstrukturkan bagaimana suara diberikan dan bagaimana hasil suara ini dikonversikan menjadi kursi.

Kembali pada putusan MK, maka sebenarnya hampir seluruh elemen dari sistem Pemilu pernah diuji materi di MK, dan beberapa keluar sebagai keputusan final dan mengikat. Dalam kontes Pemilu di Indonesia, MK berposisi sebagai penjaga garis demokrasi, atau The Guardian of Democracy. MK bukan hanya menjadi negative legislator (membatalkan pasal di undang undang Pemilu), tetapi juga memberi makna, tafsir, kaidah, dan bahkan ketentuan baru. Aneka pasal yang diuji materi di MK, merebak di seluruh bagian undang-undang Pemilu.

MK kini menjadi salah satu kekuatan yang mereformasi Pemilu di Indonesia. Karena hamper semua aspek kepemiluan diubah oleh MK. Mulai dari soal data pemilih, syarat pencalonan presiden, ambang batas calon presiden, sampai dengan waktu pelaksanaan Pemilu.

Di dalam buku Tata Kelola Pemilu di Indonesia (KPU, Jakarta, 2019), soal waktu pelaksanaan Pemilu adala bagian dari sistem Pemilu.

Catatan Akhir

Kesempatan untuk perbaikan kini terbetang lebar. Tahun ini, 2025, pembahasan revisi UU Pemilu tengah digodok di DPR. Diharapkan di Tahun 2026, kita telah memiliki UU Pemilu yang baru, sebagai paying hukum Pemilu Nasional (2029) dan Pemilu Lokal (2031). Semoga ada jarak waktu yang cukup, untuk menghasilkan undang-undang yang berkualitas.

Harapan kita, sumber usulan revisi, pembahasan pasal-pasal, dan masuknya berbagai ketentuan, tidak lagi bersumber dari kepentingan jangka pendek atau titipan kelompok tertentu. Melainkan berbasis kepada penciptaan pemilu yang genuine dan berintegritas, demi terjaminnya kepastian hukum dan menjaga kedaulatan rakyat. Semoga.