Oleh: Winda Sari — Aktivis Perempuan, Pengurus KOHATI BADKO Jabodetabeka-Banten
Tintaindonesia.id, Opini — Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh HOC (49) terhadap keponakannya di Tangerang adalah tragedi kemanusiaan yang membuka luka dalam soal perlindungan anak di Indonesia. Lebih menyakitkan, pelaku adalah wali dari korban — orang yang seharusnya memberi rasa aman, bukan malah merusaknya.
Kejahatan ini tidak hanya berupa pencabulan fisik, namun juga eksploitasi seksual digital, di mana pelaku menyimpan dokumentasi asusila korban dalam akun Google Drive-nya. Fakta ini terungkap melalui laporan dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) kepada Direktorat Siber Polda Metro Jaya. Ini menunjukkan betapa kejahatan seksual saat ini tak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga merambah ke ruang digital yang sering luput dari pengawasan orang tua.
Baca : Pacu Jalur Putusan MK (Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal)
Trauma Tak Terlihat
Dari sudut pandang psikologis, kekerasan seksual meninggalkan luka yang tidak selalu terlihat. Anak korban berisiko mengalami trauma jangka panjang — dari rasa takut, gangguan emosional, kehilangan rasa aman, hingga putusnya kepercayaan terhadap figur dewasa.
Yang menyedihkan, korban dalam kasus ini tetap tinggal bersama pelaku karena kondisi keluarga yang tidak stabil. Ini bukan hanya ketidakadilan, tapi bentuk reviktimisasi, di mana korban harus terus berhadapan dengan pelaku dalam keseharian hidupnya. Negara tidak boleh membiarkan hal ini terus terjadi.
Hukum Harus Tegas, Tanpa Kompromi
Pelaku dijerat dengan UU ITE dan UU Pornografi, dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. Tapi persoalannya bukan hanya soal lamanya hukuman, melainkan kepastian bahwa hukum ditegakkan dengan sungguh-sungguh tanpa celah kompromi.
Baca juga : Permanent Campaigning: Strategi Politik Era Digital di Indonesia
Sudah terlalu sering kita menyaksikan kasus kekerasan seksual yang berakhir “damai secara keluarga”. Ini bukan solusi, ini pengkhianatan kedua terhadap korban. Penegak hukum, lembaga perlindungan anak, dan masyarakat sipil harus bersuara satu: tidak ada ruang bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, siapa pun mereka, dan di mana pun mereka berada.
Jangan Bungkam, Lawan!
Sebagai aktivis perempuan dan pengurus KOHATI BADKO Jabodetabeka-Banten, saya menyerukan kepada seluruh perempuan, ibu, kakak, guru, aktivis, dan siapa pun, untuk tidak bungkam. Kita harus jadi garda terdepan yang menyuarakan perlindungan bagi anak-anak di sekitar kita.
Edukasi seksualitas berbasis usia, keberanian melapor, dan sistem dukungan yang berpihak kepada korban adalah tiga hal penting yang harus terus kita perjuangkan.
Kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya masalah keluarga, ini adalah persoalan publik dan kegagalan negara jika dibiarkan. Saat anak-anak hidup dalam ketakutan, masa depan bangsa ikut terancam.
Mari kita berdiri bersama anak-anak lindungi mereka, pulihkan mereka, dan bebaskan mereka dari rantai kekerasan yang membungkam.