Program MBG : Gizi yang Terbuang, Nyawa yang Terancam

Opini144 Dilihat

Oleh : Endang Suhendar (Direktur Teras Insan Cita)

Tintaindonesia.id, Opini — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan janji mulia: memperbaiki kecukupan gizi anak demi menurunkan stunting dan meningkatkan kualitas SDM, namun realitas pelaksanaannya dalam beberapa bulan terakhir telah memunculkan masalah serius. Bukan hanya soal anggaran dan distribusi, melainkan kejadian keracunan massal yang menimpa ribuan murid di berbagai daerah. Fakta ini mengubah wacana dari “solusi gizi” menjadi persoalan keselamatan publik yang mendesak.

Kasus demi kasus memperlihatkan pola yang mengkhawatirkan, makanan yang disiapkan pada dapur-dapur MBG, terkadang dari pemasok baru yang belum berpengalaman, tidak melalui standar keamanan pangan yang konsisten. Akibatnya, makanan basi, terkontaminasi, atau disajikan di luar waktu aman, menyebabkan keracunan massal. Inspeksi pemerintah bahkan menemukan puluhan dapur yang ditutup karena tidak memenuhi syarat higienitas.

Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dampak keracunan MBG berkembang menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan ratusan korban. Pemerintah daerah sampai menetapkan status darurat kesehatan. Contoh seperti ini memperlihatkan bahwa masalah bukan insiden tunggal, melainkan kegagalan sistemik yang membebani layanan kesehatan daerah.

Jawa Barat pun menjadi episentrum kejadian besar. Di Garut dan Tasikmalaya, puluhan hingga ratusan siswa jatuh sakit setelah memakan menu MBG. Kejadian berulang ini menunjukkan lemahnya pengawasan dapur, standar penyimpanan, dan distribusi. Klaim “bergizi” akhirnya hanya menjadi label tanpa jaminan keamanan.

Baca : Doa Tulus dari Santri Daar Khalifah untuk Keberkahan Pemimpin Daerah

Akumulasi insiden kecil dari berbagai kabupaten dan provinsi menghasilkan jumlah yang mencengangkan, ribuan anak menjadi korban keracunan sejak program berjalan. Data ini memicu perdebatan publik tentang perlu tidaknya program dilanjutkan tanpa perbaikan radikal.

Dari laporan lapangan, khususnya di Kabupaten Tangerang muncul fenomena lain yang jarang dibicarakan di awal peluncuran, banyak siswa tidak menghabiskan makanan MBG. Alasan utamanya adalah selera yang tidak cocok, tekstur makanan yang kurang menarik, atau menu yang tidak sesuai dengan budaya makan lokal. Akibatnya, siswa membawa wadah kosong dari rumah untuk menampung MBG. Ada yang membawa karena dipaksa sekolah agar tidak menyisakan makanan.

Fenomena membawa pulang makanan ini justru menimbulkan risiko baru, makanan yang sudah dimasak sejak malam atau dini hari pagi dan dimakan di rumah pada sore hari rawan terkontaminasi bakteri. Apalagi jika wadah tidak steril atau disimpan di tas tanpa pendingin.

Ada juga bukti buruknya pengelolaan mutu, makanan MBG ditemukan berulat atau basi sebelum dibagikan. Kejadian seperti ini membuat orangtua khawatir dan kehilangan kepercayaan. Ketika menu tidak sesuai selera siswa, makanan sering tersisa dan menjadi limbah. Ironisnya, makanan yang tersisa justru diwajibkan untuk tetap dibawa pulang, seolah hanya memindahkan masalah dari sekolah ke rumah.

Jika ditelusuri lebih dalam, terdapat beberapa titik kegagalan mendasar, seleksi pemasok dan dapur yang tidak ketat, logistik yang memperpanjang jarak waktu antara memasak dan makan, lemahnya pengawasan mutu, serta menu yang tidak disesuaikan dengan preferensi lokal. Gabungan faktor teknis dan sosial inilah yang memicu terjadinya keracunan massal sekaligus pemborosan makanan.

Secara teoretis, program MBG gagal menerapkan prinsip HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points). Seharusnya setiap tahap produksi dan distribusi memiliki titik kendali kritis untuk mencegah kontaminasi. Namun yang terjadi, makanan sering tidak diuji secara acak sebelum dibagikan. Prinsip pengawasan ini terabaikan.

Kegagalan juga bisa dijelaskan dengan teori principal agent problem. Pemerintah pusat sebagai pemberi program menyerahkan pelaksanaan kepada banyak agen lokal, seperti kontraktor dapur atau pemasok. Karena pengawasan lemah, agen cenderung menekan biaya, menurunkan standar, bahkan mengabaikan higienitas demi keuntungan. Akibatnya, anak-anak yang menjadi korban.

Baca juga : Pemerintah Desa Sukamulya Bahas Rencana Pembangunan 2026 melalui MusrenbangDes

Dari perspektif sosial, praktik membawa pulang makanan bisa dilihat dengan teori preferensi konsumen dan norma budaya. Menu yang tidak sesuai selera anak tentu ditolak. Sementara budaya berbagi makanan dalam keluarga mendorong siswa membawa pulang MBG meski sebenarnya sudah tidak layak konsumsi.

Fenomena ini juga bisa dikaitkan dengan teori moral hazard dan crowding-out. Ketika makanan gratis tersedia, tanggung jawab keluarga untuk menyediakan gizi seimbang bisa berkurang. Sementara pemasok yang merasa aman karena ditopang pemerintah justru berperilaku sembrono. Hasilnya adalah keracunan, pemborosan, dan hilangnya kepercayaan publik.

Kritik ini tentu harus disertai rekomendasi. Pertama, wajibkan setiap dapur MBG memiliki sertifikasi keamanan pangan setara HACCP. Kedua, lakukan uji mutu acak di sekolah sebelum makanan dibagikan. Ketiga, batasi distribusi agar makanan tidak terlalu lama dari proses masak hingga konsumsi. Keempat, libatkan komunitas lokal untuk menyesuaikan menu dengan selera dan budaya makan daerah. Kelima, hentikan kebijakan wajib membawa pulang makanan yang tidak habis. Dan terakhir, tingkatkan transparansi anggaran serta audit independen agar penyedia tidak menurunkan standar.

Kritik terhadap MBG bukan soal menolak niat baik, melainkan menyoroti implementasi yang berujung pada bahaya nyata: keracunan massal, pemborosan makanan, serta hilangnya kepercayaan publik. Kasus-kasus di Agam, Garut, Tasikmalaya, Bekasi, Bangkalan, dan banyak daerah lain membuktikan bahwa masalah ini nyata. Jika pemerintah serius menyelamatkan tujuan gizi nasional, langkah pertama harus memperbaiki keamanan pangan dan tata kelola program sebelum memperluas cakupan. Tanpa itu, risiko keracunan dan praktik tidak sehat seperti membawa wadah kosong hanya akan memperburuk, bukan memperbaiki, kondisi gizi anak bangsa.