Refleksi Milad KOHATI ke-59: Merawat Nilai, Melahirkan Perempuan Tangguh

Opini196 Dilihat

Oleh : Winda Sari Pengurus Kohati Badko Jabodetabeka-Banten

Tintaindonesia.id, Opini — Enam puluh tahun kurang satu, perjalanan panjang KOHATI (Korps HMI-Wati) menjadi bagian penting dalam dinamika bangsa dan gerakan mahasiswa Indonesia. Sejak berdirinya pada 17 September 1966, KOHATI hadir bukan hanya sebagai sayap organisasi, tetapi sebagai ruang tumbuh bagi kader perempuan HMI untuk mengasah diri, mengukir peran, sekaligus mengabdi pada umat dan bangsa.

Memasuki usia ke-59, KOHATI telah melahirkan banyak pribadi tangguh yang mengambil peran penting di berbagai sektor: akademisi, profesional, politisi, aktivis sosial, hingga ibu rumah tangga yang mendidik generasi. Semua lahir dari semangat berproses, berjuang, dan berbakti—nilai dasar yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Namun, usia matang ini juga harus menjadi ruang refleksi. Apakah KOHATI masih konsisten menjadi kawah candradimuka lahirnya kader perempuan yang kritis, progresif, dan berdaya? Apakah KOHATI telah cukup responsif menghadapi tantangan baru, mulai dari derasnya arus globalisasi, isu ketidakadilan gender, hingga transformasi digital yang mengubah wajah pergerakan sosial?.

Baca : Pemerintah Kecamatan Kemiri Ucapkan Selamat HUT ke-80 Palang Merah Indonesia: Tebarkan Kebaikan

Sejarah mencatat pesan para pendiri HMI yang selalu relevan. Lafran Pane, pendiri HMI, pernah menekankan bahwa “HMI harus menjadi tempat mahasiswa berproses, bukan hanya belajar teori, tetapi juga menempa watak dan karakter untuk pengabdian yang lebih besar.” Semangat ini pula yang menjiwai lahirnya KOHATI sebagai ruang kaderisasi perempuan.

Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran R.A. Kartini dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang (1911), yang menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk berkembang: “Perempuan bukanlah bulan yang hanya bersinar karena pantulan cahaya matahari, ia memiliki sinarnya sendiri.” Kutipan ini menjadi pengingat bahwa peran perempuan bukan sekadar pelengkap, tetapi subjek yang menentukan arah bangsa.

Gagasan itu semakin dikuatkan oleh pemikir feminis Muslim asal Maroko, Fatima Mernissi, yang dalam karya-karyanya (seperti Beyond the Veil dan The Veil and the Male Elite) menekankan pentingnya perempuan untuk tidak hanya dipandang sebagai objek budaya atau simbol, melainkan sebagai subjek yang aktif menentukan peran sosialnya. Perempuan, menurut Mernissi, harus memiliki ruang untuk berpikir, bersuara, dan berkontribusi dalam membentuk masyarakat.

Kutipan Mernissi ini sangat relevan bagi KOHATI: perempuan tidak boleh hanya menjadi “objek perjuangan”, tetapi harus hadir sebagai “subjek peradaban”. Dengan demikian, keberadaan KOHATI bukan hanya simbol representasi perempuan dalam tubuh HMI, tetapi motor penggerak lahirnya generasi perempuan yang mandiri, berdaya, dan berani mengambil peran strategis di ruang publik.

Baca juga : Kasus Kuota Haji, KPK Terima Pengembalian Dana dari Ustaz Khalid Basalamah

Milad ke-59 ini, dengan tema “KOHATI Bernilai, Indonesia Maju”, harus dimaknai sebagai panggilan moral. Bernilai artinya berpegang teguh pada prinsip, berani bersuara untuk kebenaran, serta memberi kontribusi nyata dalam membangun peradaban. Indonesia Maju hanya bisa terwujud jika perempuan turut mengambil peran sejajar dalam setiap lini kehidupan.

Refleksi ini sekaligus ajakan. Bahwa KOHATI bukan sekadar sejarah, melainkan masa depan. Ia adalah ruang yang terus hidup, yang senantiasa melahirkan kader perempuan tangguh untuk Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan maju.

Selamat Milad ke-59 KOHATI. Mari terus merawat nilai, memperkuat solidaritas, dan menjadikan setiap kader sebagai role model perempuan berdaya—yang bukan sekadar objek sejarah, tetapi subjek utama peradaban bangsa.