Saatnya Administrasi Publik Hadir Di Hulu: Pencegahan Stunting Melalui Edukasi Calon Pengantin

Opini40 Dilihat

Oleh: Ade Yusmuliani Lubis
Mahasiswi Program Studi Magister Administrasi Publik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Tintaindonesia.id, Opini — Stunting, salah satu masalah kesehatan masyarakat yang hingga kini masih menjadi tantangan serius dalam penanganannya. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional tercatat sebesar 19,8%, menurun dari 21,5% pada 2023, namun angka ini masih jauh dari target penurunan menjadi 14% pada 2024. Pada RPJMN 2025-2029, prevalensi stunting tahun 2025 ditargetkan sebesar 18,8% dan ditargetkan turun 1,5 – 2 % per tahun, sehingga prevalensi stunting pada akhir RPJMN diharapkan mencapai 14,2%. Stunting tidak hanya berdampak pada hambatan pertumbuhan fisik anak, tetapi juga perkembangan kognitif, kesehatan jangka panjang, serta menurunkan produktivitas sumber daya manusia di masa depan.

Upaya percepatan penurunan stunting sesungguhnya harus dimulai sejak pra-kehamilan, yaitu dari fase pra-nikah. Data aplikasi Elsimil (Elektronik Siap Nikah dan Hamil) yang dikembangkan BKKBN pada tahun 2022 mencatat bahwa lebih dari 50,5% calon pengantin di Indonesia mengalami masalah kesehatan yang berisiko terhadap kehamilan, seperti anemia dan KEK (Kurang Energi Kronik) dengan IMT (Indeks Massa Tubuh) <18,5. Fakta ini menunjukkan bahwa tanpa intervensi sejak pra-nikah, risiko melahirkan anak stunting tetap tinggi, meskipun intervensi dilakukan setelah kehamilan atau masa balita.

Baca : Mata Elang Kembali Berulah, Warga Diminta Jangan Takut Lapor!

Pencegahan stunting sejak pra-nikah melalui bimbinganperkawinan (Bimwin) merupakan langkah strategis yang harus diperkuat karena banyak pasangan belum memahami bahwa stunting berawal dari kualitas kesehatan ibu bahkan sebelum kehamilan. Dari perspektif administrasi publik, Bimwin adalah instrumen kebijakan preventif yang membutuhkan koordinasi lintas sektor dan integrasi ilmu lain seperti ilmu kesehatan dan gizi untuk intervensi medis, sosiologi dan antropologi untuk pendekatan budaya, serta psikologi dan agama untuk pembinaan keluarga.

Bimwin – Administrasi Publik – Ilmu Kesehatan dan Gizi

Pemeriksaan status kesehatan calon pengantin sangat penting, diantaranya cek darah (Hb untuk deteksi anemia), berat badan, tinggi badan, status gizi, riwayat penyakit menular (HIV, hepatitis, TBC), serta status reproduksi. Anemia meningkatkan risiko bayi lahir dengan berat badan rendah atau yang dikenal dengan istilah BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah), yang merupakan faktor utama penyebab stunting.

Edukasi tentang jarak kehamilan yang ideal, usia ideal menikah, dan kesiapan rahim menjadi fokus utama. Perkawinan usia anak (<19 tahun) terbukti meningkatkan risiko kehamilan bermasalah, bayi lahir prematur, dan stunting. Dari sisi medis, tubuh remaja putri yang berusia terlalu muda belum siap secara organ reproduksi maupun asupan nutrisi untuk mendukung kehamilan. IMT <18,5 berisiko melahirkan bayi kecil untuk usia kehamilan yang rentan stunting.

Program pemerintah seperti tablet tambah darah (TTD) untuk remaja putri adalah bagian dari intervensi gizi pra-nikah. Edukasi gizi seimbang, pola makan bergizi, dan pencegahan konsumsi makanan pantangan juga penting. Ilmu gizi menekankan bahwa masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah masa yang krusial untuk mencegah terjadinya stunting pada anak. Jika ibu sudah anemia atau malnutrisi sebelum menikah, maka intervensi gizi setelah hamil sering terlambat.

Bimwin – Administrasi Publik – Sosiologi

Sosiologi menekankan bahwa perilaku kesehatan calon pengantin dan keluarga dipengaruhi oleh struktur sosial, norma, status ekonomi, serta jaringan sosial di lingkungannya. Misalnya, masih banyak masyarakat yang menikah di usia sangat muda karena tekanan sosial, padahal perkawinan usia anak meningkatkan risiko melahirkan bayi stunting.

Bimwin – Administrasi Publik – Antropologi

Antropologi membantu memahami kearifan lokal dan praktik budaya yang bisa berdampak pada kesehatan. Misalnya, ada budaya pantang makan telur atau ikan bagi ibu hamil dibeberapa daerah karena dianggap tabu, padahal itu merupakan sumber protein penting. Dengan pendekatan antropologi, penyuluh bisa melakukan cultural negotiation agar edukasi gizi diterima masyarakat tanpa menyinggung budaya. Tata kelola birokrasi juga perlu menjadi perhatian untuk memastikan distribusi sumber daya yang efektif dan merata.

Baca juga : KNPI Mauk Gelar Kegiatan “Pemuda Berbagi” di SD Tegal Kunir Kidul II

Bimwin – Administrasi Publik – Ilmu Agama

Bimwin memang menitikberatkan pada pembekalan agama dan keluarga sakinah, akan tetapi saat ini modulnya juga disinergikan dengan edukasi kesehatan reproduksi, gizi, dan pencegahan stunting. Administrasi publik berperan mengintegrasikan ajaran agama kedalam kebijakan publik melalui kolaborasi dengan Kementerian Agama, Kemendukbangga, dan Kementerian Kesehatan. Jadi, agama bukan hanya pembinaan spiritual, tetapi juga instrumen kebijakan. Negara menggunakan legitimasi agama untuk memperkuat kepatuhan masyarakat terhadap program kesehatan (misalnya, pemeriksaan kesehatan pra-nikah dianggap bagian dari ikhtiar menjaga amanah Tuhan).

Administrasi publik berfungsi sebagai simpul penghubung antar disiplin, memastikan bahwa berbagai ilmu yang relevan bekerja bersama dalam kerangka kebijakan publik. Artinya, tanpa administrasi publik, ilmu-ilmu lain akan berjalan sendiri-sendiri dan tidak sinkron. Sebaliknya, tanpa kontribusi ilmu lain, administrasi publik hanya akan menghasilkan kebijakan normatif tanpa substansi kesehatan dan sosial yang memadai. Kolaborasi interdisipliner inilah yang menjadikan Bimwin sebagai instrumen preventif holistik dalam mencegah stunting dari hulu sekaligus wujud nyata praktik collaborative governance. Dengan tata kelola yang baik, Bimwin tidak hanya menjadi formalitas administratif, melainkan benar-benar menjadi instrumen holistik integratif dalam mencegah stunting dari hulu, yang pada akhirnya memperkuat kualitas sumber daya manusia Indonesia.