Refleksi Hari Santri : Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Pendidikan di Tengah Disrupsi Zaman

Opini21 Dilihat

Oleh : Muhammad HS
Ketua PP IPNU

Tintaindonesia.id, Opini — Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober lahir dari semangat Resolusi Jihad 1945 sebuah seruan ulama dan santri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kini, tujuh puluh sembilan tahun kemudian, medan jihad telah bergeser. Musuhnya bukan lagi penjajahan fisik, melainkan kolonialisme baru: kemiskinan intelektual, komersialisasi pendidikan, dan krisis adab di tengah disrupsi digital.

Santri masa kini harus membaca zaman sebagaimana para ulama membaca kitab: dengan ketelitian, kebijaksanaan, dan keberanian berpikir. Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan bahwa tujuan pendidikan ialah “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”

Namun, ideal itu kini tergeser oleh sistem yang lebih sibuk menuntut hasil daripada proses, nilai daripada makna.

“Sesungguhnya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)

Baca : Sinergi PLN Indonesia Power UBP Lontar dan Pemkab Tangerang Wujudkan Pengelolaan FABA Ramah Lingkungan Untuk Mendukung Pembangunan Infrastruktur Daerah

Ayat ini menjadi fondasi spiritual bagi setiap santri bahwa ilmu bukan sekadar jalan menuju penghidupan, tapi jalan menuju kemuliaan. Namun di tengah derasnya arus zaman, kita patut bertanya: apakah pendidikan hari ini masih memuliakan manusia, atau justru menjadikannya sekadar alat industri?

Di sinilah peran strategis kader IPNU-IPPNU dan pesantren sebagai benteng peradaban. Pendidikan tidak boleh hanya mencetak lulusan, tapi membentuk insan yang tidak hanya pintar, tapi juga beradab. Dalam istilah KH. Hasyim Asy’ari, santri adalah mereka yang menjadikan ilmu sebagai sarana ibadah, bukan sarana kebanggaan.

Kita tengah menyaksikan paradoks besar dalam dunia pendidikan Indonesia. Akses pendidikan semakin luas, tetapi kualitas moral dan integritas justru menurun. Literasi digital tumbuh, tapi literasi nurani melemah. Banyak siswa mampu menjawab soal logika, tapi gagap menghadapi realitas sosial.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan kita kehilangan ruh, ia tercerabut dari nilai spiritual dan kearifan lokal yang dulu menjadi inti dari tradisi pesantren.

Dalam banyak forum, para pakar pendidikan berbicara tentang “merdeka belajar”. Namun, santri tahu betul bahwa kemerdekaan sejati bukan berarti bebas tanpa arah, melainkan kebebasan yang dipandu oleh nilai dan tanggung jawab. Santri yang sejati tidak hanya berani berpikir berbeda, tapi juga berani mempertanggungjawabkan pikirannya dengan adab dan ilmu.

Tema Hari Santri 2025: “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”, mengandung pesan mendalam. “Mengawal” bukan sekadar menjaga, tapi memastikan arah perjalanan bangsa tetap sesuai dengan nilai luhur. Santri tidak boleh diam melihat dekadensi moral yang melanda pelajar dan remaja bangsa.
Santri harus hadir di setiap ruang dari madrasah hingga media sosial sebagai penjaga nalar sehat dan penyebar kedamaian.

“Menuju peradaban dunia” bukan berarti meniru peradaban Barat, tapi menjadikan nilai-nilai pesantren sebagai kontribusi universal. Dunia membutuhkan manusia yang tidak hanya cerdas secara teknologis, tapi juga matang secara moral dan spiritual. Santri harus berani tampil di panggung global menulis, meneliti, berinovasi sambil tetap berpijak pada akar keislaman dan keindonesiaan.

Sebagaimana dikatakan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), “Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tapi tempat menanamkan kemanusiaan.” Maka, keberadaan santri di dunia modern bukan nostalgia masa lalu, tapi harapan bagi masa depan peradaban.

Santri hari ini hidup dalam ekosistem digital yang kompleks. Hoaks, ujaran kebencian, dan konten dangkal merajalela. Maka, tafakkur di era ini bukan hanya membaca kitab kuning, tapi juga membaca algoritma; muraqabah bukan sekadar menjaga hati, tapi juga menjaga jari.

Santri harus menjadi pionir literasi digital yang beretika, mengimbangi derasnya informasi dengan kebijaksanaan spiritual.

Pendidikan ala pesantren menawarkan keseimbangan itu. Di satu sisi, ia mengasah kecerdasan rasional dan kritis; di sisi lain, ia menanamkan adab sebagai fondasi ilmu. Dalam tradisi santri, belajar tanpa adab adalah kesia-siaan, dan ilmu tanpa akhlak adalah kebodohan yang terselubung.

Kader IPNU-IPPNU sebagai pelajar Nahdlatul Ulama harus menjadi pelopor paradigma baru pendidikan: bukan hanya learning to know, tapi learning to be dan learning to serve. Inilah konsep pendidikan yang menyiapkan manusia untuk menjadi hamba Allah sekaligus khalifah fil ard pembelajar yang membangun dunia dengan nilai-nilai ilahiah.

Baca juga : Diduga Asal Jadi, Proyek Perkim Di Wilayah Sindang Sari Yang Dikerjakan Oleh CV Bomantar Jaya Menuai Sorotan

Meneguhkan Kembali Jiwa Santri

Pendidikan di Indonesia akan tetap memiliki arah selama masih ada santri yang menyalakan pelita di tengah gelapnya zaman. Sebab, santri tidak pernah belajar hanya untuk dirinya sendiri, ia belajar untuk bangsa, dan berjuang demi kemanusiaan.

Dalam setiap huruf yang ia baca, tersimpan doa, dalam setiap langkah menuju majelis ilmu, tersimpan cita-cita besar agar bangsa ini tidak kehilangan arah. Maka benar kata KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), “Santri itu bukan hanya yang mondok di pesantren, tapi siapa saja yang hidupnya belajar dan menjadikan ilmu untuk menebar manfaat.”

Hari Santri bukan sekadar seremoni, melainkan momentum untuk mengembalikan arah pendidikan bangsa: dari orientasi pasar menuju orientasi nilai, dari pencapaian pribadi menuju pengabdian sosial.

Selama masih ada santri yang berpikir dengan hati dan berjuang dengan ilmu, Indonesia akan selalu punya masa depan.

Tulisan ini saya persembahkan untuk seluruh santri yang terus menyalakan cahaya ilmu di tengah gelapnya zaman. Dari ruang pelajar NU, kami berikrar untuk terus mengawal Indonesia menuju peradaban dunia.