HUT Ke 80 Kec. Rajeg : Diantara Persimpangan Seremoni dan Reformasi‎

Opini67 Dilihat

Oleh: Mohamad Eddy Sopyan
‎Pemuda Marginal

Tintaindonesia.id, Opini — Usia 80 adalah usia matang — setidaknya bagi manusia. Tapi bagi birokrasi, rupanya umur panjang belum tentu menjamin kedewasaan. Kecamatan Rajeg sudah berumur delapan dekade, namun pelayanan publiknya kadang masih berjalan seperti sepeda onthel: goyah, lambat, tapi tetap merasa hebat.

‎Perayaan HUT Rajeg ke-80 seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan sekadar pesta tahunan yang diwarnai panggung hiburan dan potong tumpeng. Sebab, apa gunanya panggung megah dan lampu sorot jika pelayanan publik masih redup? Apa gunanya orasi penuh semangat, jika di meja pelayanan warga masih disuruh bolak-balik hanya untuk urusan selembar surat keterangan domisili?.

Birokrasi: Jangan Hanya Duduk di Balik Meja

‎Di usia yang ke-80, sudah seharusnya birokrasi Rajeg tak lagi bersembunyi di balik tumpukan berkas dan alasan “masih proses, Pak.” Digitalisasi bukan sekadar aplikasi, tapi perubahan pola pikir. Kalau pelayanan publik masih menunggu tanda tangan satu orang yang “sedang rapat”, maka semua jargon reformasi hanyalah sandiwara administratif.

‎Rakyat sebenarnya tak menuntut muluk. Mereka tak butuh sambutan panjang, cukup pelayanan yang tidak berbelit. Tak perlu janji reformasi, asal tidak dipersulit. Tapi sayangnya, sebagian birokrat masih berpikir bahwa melayani adalah kebaikan ekstra, bukan kewajiban dasar.

Baca : Kabar Gembira Dari Warga Kecamatan Kemiri : Warga Tersenyum Lebar Terima Rumah Impian

Rajeg butuh birokrasi yang menjemput, bukan menunggu. Pelayanan berbasis digital harus disertai pembinaan aparatur agar benar-benar bisa mengoperasikan sistemnya. Jika perlu, bentuk tim kecil lintas RT/RW untuk membantu warga mengakses layanan digital — bukan malah menambah antrean di kantor kecamatan.

Pemberdayaan Masyarakat: Hentikan “Pemberdayaan Palsu”

‎Kata pemberdayaan sering terdengar indah di podium, tetapi jarang terlihat di lapangan. Program pelatihan sering kali hanya menghasilkan foto dokumentasi untuk laporan, bukan peningkatan kapasitas bagi masyarakat.

‎Padahal, masyarakat Rajeg sesungguhnya memiliki daya hidup yang luar biasa. Banyak anak muda kreatif, petani tangguh, ibu-ibu produktif, dan pelaku UMKM yang tahan banting. Mereka hanya butuh dukungan nyata, bukan sekadar arahan normatif.

Jika pemerintah mau sedikit membuka telinga dan menurunkan ego birokrasi, masyarakat bisa menjadi mitra sejajar, bukan objek yang terus “dibina” seolah tidak pernah cukup pandai.

‎Pemberdayaan bukan berarti memberi, tetapi memberi kesempatan. Bukan sekadar memfasilitasi, tetapi mempercayai. Dan itulah yang sering hilang — kepercayaan terhadap kemampuan warga sendiri.

Aspek Sosial: Potret Yang Masih Buram

‎Tak bisa dipungkiri, Rajeg kini semakin maju secara fisik. Jalan diperlebar, kantor dibangun megah, dan baliho ucapan selamat bertebaran. Tapi di balik kemajuan itu, masih ada warga yang belum menikmati arti kata “sejahtera.”

‎Birokrasi sibuk menghitung proyek, sementara masyarakat masih sibuk menghitung harga pokok. Pemerintah sering berbangga dengan data statistik, padahal angka-angka itu tidak bisa menutupi fakta di lapangan. Pemerintah sering lupa bahwa pembangunan sejati bukan diukur dari panjang jalan atau megahnya gedung, tapi dari seberapa banyak senyum warga yang tidak lagi disembunyikan oleh kesulitan hidup.

‎Rajeg perlu mengubah arah pembangunan dari fisik-sentris ke manusia-sentris. Bangun data sosial terpadu yang benar-benar akurat, bukan sekadar formalitas laporan. Libatkan RT/RW dalam pemetaan masalah sosial — dari kemiskinan, pengangguran, hingga pendidikan — agar program intervensi tepat sasaran.

Pemerintah: Saatnya Turun dari Panggung

‎Setiap kali perayaan, panggung dibuat megah, dekorasi penuh warna, dan mikrofon bergetar oleh sambutan pejabat. Tapi begitu acara usai, rakyat kembali ke rutinitas yang sama — menghadapi birokrasi yang kaku dan pelayanan yang lambat.

‎Jika pejabat hanya hadir saat kamera menyala, lalu menghilang saat rakyat mengadu, maka panggung HUT hanyalah sandiwara tahunan.

Baca juga : Proyek PDAM Tirta Benteng Bikin Jalan Hancur, Ketua LSMP: Warga Bukan Tikus Percobaan!

Pemerintah Kecamatan Rajeg perlu membangun tradisi blusukan administratif — turun langsung memantau layanan hingga level RT/RW. Jadikan evaluasi pelayanan sebagai agenda tetap, bukan wacana musiman. Bentuk kanal aduan publik online yang benar-benar ditindaklanjuti, bukan sekadar pajangan web.

Penutup : Janji Ke Aksi Nyata

‎80 Tahun adalah waktu cukup panjang untuk belajar, tapi belum terlambat untuk berubah. Rajeg tak butuh pejabat yang fasih berjanji, tapi yang rajin menepati.
‎Sudah saatnya pemerintah berhenti mengukur kesuksesan dari panjang daftar acara, dan mulai mengukur dari singkatnya waktu yang dibutuhkan warga untuk dilayani.

‎Jika 80 Tahun pertama Rajeg diisi dengan membangun fisik, maka delapan puluh tahun berikutnya harus diisi dengan membangun mental dan moral birokrasi. Karena tanpa perubahan sikap, semua perayaan hanyalah tepuk tangan sementara yang tenggelam bersama sisa sampah pesta.

‎Masyarakat Rajeg menunggu bukan sekadar janji, tetapi bukti. Mereka sudah terlalu sering mendengar kata “akan”, tapi jarang melihat kata “sudah”. Maka, jika momentum ini dilewatkan tanpa introspeksi, jangan salahkan siapa pun ketika kepercayaan rakyat semakin tipis — karena yang hilang bukan sekadar pelayanan, tapi rasa hormat terhadap pemerintahnya sendiri.

‎Karena rakyat tidak meminta banyak. Mereka tak butuh seremoni besar atau pidato panjang — mereka hanya ingin haknya diurus tanpa harus datang berkali-kali. Dan kalau itu saja belum bisa dijalankan, maka tepuk tangan perayaan hanyalah ironi yang berisik di tengah janji-janji kosong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *