Kado dari Trans7 : Luka untuk Pesantren di Hari Santri Nasional

Opini156 Dilihat

Penulis : Ahmadi, S.Sos (Santri Asshiddiqiyah 2 | Laskar Santri Nusantara)

Tintaindonesia.id, Opini — Pesantren dan kemerdekaan ibarat dua nadi yang berdenyut dalam satu tubuh bangsa. Dari rahim pesantrenlah lahir semangat perjuangan, dari lantunan doa para santri terpahat tekad untuk merdeka. Sejarah mencatat, pesantren bukan hanya rumah tafsir dan kitab kuning, melainkan benteng moral, tempat disiplin dan cinta tanah air ditempa dalam diam.

Resolusi Jihad 1945 bukan sekadar catatan sejarah, tetapi saksi bahwa santri tak hanya berzikir, mereka juga berjuang.

Kini, delapan puluh tahun setelah republik ini tegak, pesantren tetap berdiri—tanpa menagih banyak pada negara. Di tengah modernitas yang kian gila arah, pesantren menjadi pelita bagi mereka yang tersisih oleh biaya pendidikan formal. Banyak kiai yang tetap mengabdi tanpa pamrih, mengolah ladang dan kebun untuk menafkahi para santri.

Dari ruang-ruang sederhana itu, lahirlah manusia yang tak hanya pandai mengaji, tetapi juga tangguh menghadapi kerasnya kehidupan.

Baca : PW IPNU Banten Mengecam tindakan Trans 7 menayangkan Video yang membuat kegaduhan di masyarakat

Namun luka itu datang bukan dari musuh kolonial, melainkan dari layar kaca—dari sebuah program televisi yang seharusnya menjadi cermin moral publik.

Tanggal 13 Oktober 2025, Trans7 melalui program Xpose Uncensored menayangkan potongan realitas yang direkayasa, menggiring opini publik untuk memandang pesantren sebagai ruang feodalisme dan eksploitasi. Dengan narasi sinis seperti “Kiai yang kaya raya tapi umat yang kasih amplop” dan “Santrinya minum susu aja kudu jongkok”, media besar itu menodai kehormatan ribuan pesantren di seluruh negeri.

Ironinya, tayangan tersebut publis di bulan Oktober yang penuh makna bagi bangsa dan santri negeri ini.

Peristiwa resolusi jihad, fatwa yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pada 22 Oktober 1945 untuk membangkitkan semangat rakyat Indonesia, khususnya santri, agar berjuang mempertahankan kemerdekaan yang hendak direbut kembali oleh penjajah.

Baca juga : Fitnah Pesantren di Trans7, LPBH PWNU Banten Geram: Harus Diproses Hukum!

Fatwa ini menetapkan bahwa melawan penjajah hukumnya adalah fardlu ain (wajib bagi setiap individu) dan menjadi dasar perlawanan dalam pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.  

Di mana nurani jurnalistiknya?

Di mana prinsip keberimbangan yang dijunjung dalam setiap kode etik pers?
Program itu tak hanya abai pada etika, tapi juga pada akal sehat publik. Ia mereduksi hubungan spiritual antara santri dan kiai menjadi tontonan satir yang memuakkan.

Bahasa dalam narasi tersebut tidak lagi netral—ia menjadi senjata ideologis yang menegaskan ketimpangan dan kebencian terhadap identitas keislaman yang berakar dalam budaya Nusantara.

Dan kalaupun maksud Trans7 hanyalah mengejar engagement dan exposure, maka mereka memang berhasil—berhasil mencederai hati jutaan santri dan menciptakan gelombang kemarahan yang tak bisa ditebus dengan permintaan maaf sederhana.

Media, dalam perannya sebagai penjaga nalar publik, seharusnya menyalakan lentera, bukan membakar jembatan kepercayaan.

Sementara pesantren, meski kembali tersudut, akan tetap seperti biasa—tenang dalam doa, teguh dalam pengabdian.

Karena dari masa ke masa, pesantren telah membuktikan: mereka tidak membutuhkan validasi dari kamera, sebab cahaya yang mereka pancarkan datang dari iman dan pengabdian yang tak bisa dipotong dalam durasi satu jam tayangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *