Refleksi Seperempat Abad Provinsi Banten Berdiri : Antara Janji Kemajuan dan Realitas yang Masih Tertinggal

Opini35 Dilihat

Tintaindonesia.id, Opini — merupakan wilayah barat paling ujung di pulau jawa, dalam sejarahnya Banten sangat sentral, dan menjadi gerbang perdagangan pada masa kesultanan, kolonial, perjuangan, hingga modern hari ini. Roda perekonomian terutama perdagangan menjadikan kemajuan untuk Banten kedepannya. Namun, realitas yang ada, menjadikan Banten masih banyak hal yang harus dibenahi hingga ke akar rumputnya.

Tanggal 4 Oktober tahun 2000 menjadi tonggak sejarah baru bagi masyarakat Banten. Setelah sekian lama berada di bawah naungan Jawa Barat, Banten akhirnya resmi berdiri sebagai provinsi sendiri. Dua puluh lima tahun berlalu, sudah seperempat abad usia yang seharusnya menjadi waktu cukup panjang untuk menakar sejauh mana janji-janji awal kemajuan itu benar-benar terwujud. Namun, di tengah hiruk pikuk masyarakat Banten hari ini, pertanyaan yang muncul adalah sudahkah Banten benar-benar maju dan sejahtera sebagaimana cita-cita awal pendiriannya?

Seperempat abad bukan waktu yang singkat. Seharusnya, ini menjadi momentum untuk merayakan berbagai capaian dan kemajuan. Namun, ketika kita menengok kembali perjalanan Banten, kemajuan itu terasa timpang. Di balik pembangunan fisik yang tampak megah, masih banyak masyarakat yang hidup jauh dari kesejahteraan. Pertanyaan yang patut diajukan: apakah layak kita merayakan “kemajuan” ketika rakyatnya masih berjuang untuk hidup layak di tanah kelahirannya sendiri?.

Baca : Cikande Terdampak Radioaktif: Ancaman Kemanusiaan dan Beban Perempuan

Dua puluh lima tahun seharusnya cukup untuk melihat perubahan besar baik dari segi infrastruktur, ekonomi, sosial, maupun budaya. Namun kenyataannya, banyak persoalan krusial yang belum terselesaikan. Kemiskinan, ketimpangan, dan lapangan kerja yang terbatas masih menjadi wajah keseharian sebagian besar masyarakat. Di atas kertas, Banten mungkin tampak mengeliat untuk berkembang, tetapi di lapangan, perubahan itu belum benar-benar dirasakan secara merata.

Banten memang telah melakukan banyak pembangunan, tetapi kualitasnya perlu ditinjau ulang. Pendidikan, yang seharusnya menjadi kunci kemajuan, masih jauh dari harapan. Program pendidikan gratis yang pernah dijanjikan para pemimpin daerah hanya menjadi slogan politik saat kampanye. Janji-janji itu menguap begitu kekuasaan diraih, meninggalkan rakyat dalam realitas yang pahit: biaya pendidikan yang tinggi dan fasilitas yang tak memadai.

Banten kini menghadapi tantangan baru: pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi tanpa arah, dan ancaman ketimpangan sosial. Namun di balik itu, Banten juga menyimpan peluang besar seperti letak strategis, potensi wisata, sumber daya alam, dan kekuatan budaya. Tantangan terbesar adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengelola potensi itu dengan cara yang berkelanjutan, tanpa meninggalkan rakyat kecil yang menjadi bagian dari sejarah berdirinya provinsi ini.

Baca juga : Dinas Perkim Kabupaten Tangerang Gelar Monev Rehabilitasi RTLH di desa Klebet Kecamatan Kemiri Kabupaten Tangerang

Dalam rentang seperempat abad ini, lahirlah generasi baru anak-anak yang tumbuh sebagai warga Banten yang tidak lagi mengenal masa Jawa Barat. Generasi ini seharusnya menjadi harapan baru dengan gagasan segar dan semangat perubahan. Namun, tanpa bekal sumber daya manusia yang memadai, mereka bisa saja tumbuh menjadi generasi yang kehilangan arah. Peningkatan kualitas pendidikan dan pembinaan karakter menjadi kebutuhan mendesak agar generasi muda Banten tak hanya bangga sebagai orang Banten, tetapi juga mampu membawa tanahnya menuju kemajuan.

Selama 25 tahun, Banten telah membangun identitasnya sebagai daerah yang religius, berbudaya, dan bersejarah. Namun, kebudayaan tidak boleh berhenti pada seremonial dan simbol-simbol semata. Ia harus menjadi kekuatan yang menggerakkan masyarakat menuju keadaban dan kemajuan. Identitas budaya seharusnya hadir bukan hanya di panggung perayaan, tapi juga dalam cara kita berpikir, bekerja, dan memperjuangkan kesejahteraan bersama.

Dua puluh lima tahun adalah waktu yang cukup untuk bercermin. Banten telah berdiri tegak sebagai provinsi, tetapi belum sepenuhnya berdiri kokoh dalam kesejahteraan rakyatnya. Refleksi seperempat abad ini bukan sekadar peringatan, tetapi pengingat: bahwa kemajuan sejati tidak hanya diukur dari bangunan tinggi atau jalan lebar, melainkan dari seberapa bahagia dan sejahtera rakyat yang hidup di dalamnya.

Penulis : Nasyudin Rumi, seorang Aktivis, tokoh Pelajar Nahdlatul Ulama, sekarang menjabat sebagai Sekretaris PW IPNU Provinsi Banten (Orang Nomor 2 di PW IPNU Banten). Lahir dan besar di daerah Pesisir Banten Selatan. Beliau aktif dalam kegiatan sosial, menyuarakan ketidak adilan, isu-isu pendidikan dan keterpelajaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *