Cikande Terdampak Radioaktif: Ancaman Kemanusiaan dan Beban Perempuan

Opini66 Dilihat

Oleh: Winda Sari – Aktivis Perempuan, Pengurus Kohati Badko Jabodetabeka-Banten

Tintaindonesia.id, Opini — Kasus kontaminasi radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, seharusnya menjadi alarm keras bagi negeri ini. Radiasi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan ancaman kemanusiaan yang menyentuh kesehatan, lingkungan, ekonomi, hingga kehidupan sosial masyarakat.

Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) menyebutkan bahwa sumber radioaktif tersebut berasal dari limbah peralatan industri yang mengandung Cs-137. Zat ini lazim digunakan dalam berbagai peralatan industri seperti alat ukur kepadatan tanah dan beton. Namun, ketika pengelolaan limbahnya abai, ia berubah menjadi ancaman berbahaya yang mengintai kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Pemerintah memang sudah melakukan langkah cepat: dekontaminasi, pemeriksaan kesehatan ribuan warga, hingga perawatan bagi yang terpapar. Namun, dampak yang muncul tidak berhenti di ranah teknis. Ada kerugian luas yang harus dibicarakan secara jujur.

Baca : Dinas Perkim Kabupaten Tangerang Gelar Monev Rehabilitasi RTLH di desa Klebet Kecamatan Kemiri Kabupaten Tangerang

Dari sisi kesehatan, paparan radiasi meningkatkan risiko kanker, gangguan hormon, dan kerusakan organ. Anak-anak, lansia, dan perempuan hamil menjadi kelompok paling rentan. Dari sisi lingkungan, radiasi dapat menetap di tanah, air, dan rantai makanan, menjadikan dampaknya bisa bertahan puluhan tahun.

Secara ekonomi, masyarakat sudah menanggung kerugian. Produk perikanan sempat ditolak di pasar internasional akibat indikasi radioaktif. Stigma “zona berbahaya” bisa memukul petani, nelayan, hingga pekerja informal. Di tingkat rumah tangga, perempuan yang banyak bergerak di sektor informal akan kehilangan penghasilan sekaligus harus mengatur ekonomi keluarga yang makin sempit.

Beban psikologis dan sosial juga tidak kecil. Kecemasan akan keselamatan anak dan masa depan menimbulkan trauma kolektif. Perempuan, sebagai pengasuh utama, menanggung tekanan berlipat: menjaga keluarga, khawatir terhadap kesehatan reproduktif, dan tetap menghidupi rumah tangga. Sayangnya, suara mereka sering tidak terdengar dalam forum penanganan bencana.

Baca juga : Cegah Stunting, Dinas Perikanan Gandeng Yabapir Salurkan Bantuan Olahan Ikan

Kasus Cikande harus menjadi titik balik. Negara wajib hadir dengan transparansi informasi, pemantauan kesehatan jangka panjang, pemulihan lingkungan yang serius, kompensasi ekonomi bagi warga terdampak, dan partisipasi masyarakat khususnya perempuan dalam pengambilan keputusan. Pemerintah juga tidak boleh berhenti pada langkah formalitas berupa pemeriksaan semata. Harus ada pengawasan ketat terhadap seluruh industri yang berpotensi menimbulkan radiasi, serta tindakan tegas bagi perusahaan yang abai terhadap keselamatan masyarakat.

Radioaktif bisa dibersihkan dengan teknologi, tetapi luka sosial-ekonomi tidak akan pulih tanpa keberpihakan. Cikande adalah pelajaran bahwa pembangunan industri tanpa pengawasan yang ketat akan selalu berisiko menjadi bencana. Hak untuk hidup sehat, aman, dan bermartabat adalah hak setiap warga negara, tanpa terkecuali.