Kemerdekaan Hari Ini, Untuk Siapa?

Opini138 Dilihat
banner 468x60

Oleh : Alif Fajar Rachman (Ketua Umum HMI Komisariat Tigaraksa)

Tintaindonesia.id, Opini — Setiap tahun, kita diingatkan bahwa kemerdekaan diraih dengan darah, nyawa, dan pengorbanan. Kita disuruh hormat pada bendera, berdiri tegak menyanyikan lagu kebangsaan, dan mengisi kemerdekaan dengan rasa bangga. Tapi di tengah segala seremoni itu, saya tak bisa berhenti bertanya: kemerdekaan yang seperti ini, sebenarnya milik siapa?

banner 336x280

Apakah milik rakyat biasa, yang semakin hari semakin dicekik oleh kebijakan? Atau hanya milik segelintir elite yang menentukan arah bangsa di ruang-ruang tertutup sambil menikmati fasilitas negara dari uang rakyat?

Hari ini, segala hal dipajaki. Makan di warung? Kena pajak. Nonton konser atau bioskop? Pajak hiburan. Belanja online? Pajak digital. Bahkan saat rakyat mencari napas hiburan di TikTok atau YouTube, ada pajak di balik itu juga. Yang lucu, ketika rakyat berteriak “berat hidup ini,” pemerintah menjawab dengan angka dan grafik: katanya ekonomi tumbuh, katanya negara membaik. Tapi yang rakyat rasakan hanyalah beban hidup yang semakin tinggi.

Baca : Narasi Kekuasaan di Era Digital: Analisis Isu Ijazah Palsu Jokowi dan Pergulatan Makna di Media Sosial

Pemerintah begitu rajin memungut, tapi pelit memberi perlindungan. Harga beras naik, minyak goreng langka, biaya sekolah membengkak, tapi bantuan hanya datang saat pemilu. Negara hadir saat mau minta, bukan saat rakyat butuh. Mereka pandai bicara soal “kemandirian bangsa,” tapi tak segan membuka pintu selebar-lebarnya bagi asing untuk menguasai tambang, hutan, dan laut.

Lalu saat rakyat mulai bersuara, dituduh tidak nasionalis. Ketika generasi muda mengibarkan bendera One Piece di tengah peringatan kemerdekaan, langsung dianggap melecehkan simbol negara. Padahal bisa jadi, itu adalah bentuk protes diam: bahwa di negeri ini, rakyat belum benar-benar merdeka. Mereka hanya bebas untuk membayar, tapi tidak bebas untuk bersuara.

Baca juga : Algoritma Pemilu dan Kotak Pandora Putusan MK

Pajak memang penting, tapi kalau hasilnya tidak kembali ke rakyat, maka itu bukan pajak, itu perampokan legal. Dan ironisnya, para penguasa yang hidup dari uang rakyat seringkali lupa: tanpa rakyat yang taat, mereka tak punya apa-apa.

Kemerdekaan seharusnya berarti bebas dari ketakutan. Tapi hari ini, rakyat takut kena pajak, takut bicara, takut sakit, takut miskin, takut ditertawakan negaranya sendiri. Maka saya bertanya lagi: kemerdekaan ini untuk siapa?

Baca juga : Menjawab Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024: Momentum Penataan Demokrasi, Bukan Sekadar Jadwal Baru

Apakah untuk mereka yang bisa jalan-jalan ke luar negeri atas biaya negara, atau untuk mereka yang harus memilih antara bayar sekolah anak atau beli beras?

Apakah untuk mereka yang bisa atur pajak sesuai kepentingan, atau untuk mereka yang harus setor pajak padahal ke warung pun harus ngutang?

Jadi, jika hari ini kita bicara soal “mengisi kemerdekaan,” maka kritik adalah salah satu bentuk terbaiknya. Karena diam di tengah ketimpangan bukan nasionalisme, tapi bentuk lain dari menyerah.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *