Menjawab Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024: Momentum Penataan Demokrasi, Bukan Sekadar Jadwal Baru

Opini203 Dilihat
banner 468x60

Oleh: M.K. Ulumudin
(Anggota Bawaslu Kabupaten Tangerang)

Tintaindonesia.id, Opini – Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi babak baru dalam wajah demokrasi elektoral Indonesia. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi diselenggarakan secara serentak, mulai 2029. Ini berarti Pemilu Presiden, DPR RI, dan DPD RI akan diselenggarakan terpisah dari Pilkada Gubernur, Bupati/Wali Kota, serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Serentak tetap ada, namun diklasifikasikan secara nasional dan lokal.

Putusan ini memantik diskursus luas di kalangan penyelenggara pemilu, pegiat demokrasi, partai politik, akademisi, hingga masyarakat umum. Sebagai bagian dari pengawas pemilu di tingkat kabupaten, saya melihat keputusan ini sebagai peluang strategis untuk menata ulang kualitas demokrasi lokal, dengan catatan bahwa tantangan baru juga harus diantisipasi dengan cermat.

Demokrasi yang Lebih Terfokus

Salah satu kritik utama terhadap penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 dan 2024 adalah kompleksitasnya. Dalam satu hari, pemilih dihadapkan pada lima surat suara. Penelitian dari Perludem (2023) dan laporan internal KPU menunjukkan bahwa banyak pemilih mengalami kebingungan dalam memahami pilihan politik mereka. Situasi ini juga berdampak pada kualitas pengawasan yang terfragmentasi.

Baca : Algoritma Pemilu dan Kotak Pandora Putusan MK

banner 336x280

Dengan model pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal, fokus publik bisa lebih tajam. Pemilih dapat memahami program calon legislatif dan presiden secara khusus pada satu periode, kemudian mendalami rekam jejak dan visi kepala daerah dalam periode lainnya. Ini membuka ruang deliberatif yang lebih sehat dan rasional.

Konsekuensi Logistik dan Pengawasan

Namun, kita tak bisa menutup mata pada dampak teknis dari pemisahan ini. Dalam satu dekade ke depan, bangsa ini akan menghadapi peningkatan frekuensi pemilu. Artinya, penyelenggara harus mempersiapkan logistik lebih sering, meningkatkan ketahanan SDM, dan menjaga stamina kelembagaan yang sudah terbukti kewalahan saat pemilu serentak.

Bagi Bawaslu, pengawasan juga akan semakin kompleks. Dengan jeda waktu antar pemilu, potensi pelanggaran dalam kontestasi lokal akan meningkat, terutama di daerah dengan dinamika politik tinggi. Oleh karena itu, strategi pengawasan berbasis risiko (risk-based supervision) harus diperkuat, termasuk pelibatan komunitas lokal, kampus, dan lembaga seperti LSDP (Lingkar Studi Demokrasi dan Pemilu).

Keadilan Substantif bagi Daerah

Putusan MK ini juga bisa dibaca sebagai bentuk pengakuan terhadap pentingnya demokrasi lokal. Dalam sistem pemilu serentak sebelumnya, isu-isu lokal sering terpinggirkan karena dominasi narasi nasional. Padahal, kepala daerah dan anggota DPRD adalah aktor yang paling dekat dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari.

Baca juga : Narasi Kekuasaan di Era Digital: Analisis Isu Ijazah Palsu Jokowi dan Pergulatan Makna di Media Sosial

Dengan jeda waktu antara pemilu nasional dan lokal, masyarakat bisa memberikan penilaian lebih utuh terhadap kinerja kepala daerah, tanpa terdistraksi oleh euforia pemilu presiden atau legislatif nasional. Ini sejalan dengan prinsip subsidiarity dalam demokrasi: keputusan terbaik untuk warga lokal diambil sedekat mungkin dengan mereka.

Rekomendasi untuk Masa Transisi

Saya mencatat setidaknya empat hal penting yang harus disiapkan ke depan:

1. Penataan Ulang Tahapan Pemilu: KPU dan Bawaslu harus segera menyusun skema baru tahapan dan jadwal pemilu yang adaptif terhadap putusan ini, termasuk simulasi logistik dan anggaran.
2. Peningkatan Literasi Politik: Pemilih perlu dipersiapkan dengan edukasi publik yang massif agar memahami perbedaan pemilu nasional dan lokal, baik dari sisi kewenangan maupun teknis pelaksanaan.
3. Reformasi SDM Pengawasan: Sistem rekruitmen dan pelatihan jajaran pengawas di tingkat bawah harus diperkuat agar siap menghadapi dua gelombang kontestasi politik yang berdekatan.
4. Koordinasi Antar Kelembagaan: Pemerintah, KPU, Bawaslu, DKPP, dan DPR perlu merumuskan kebijakan yang tidak saling tumpang tindih dalam transisi pemilu mendatang.

Penutup

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 harus dimaknai sebagai momentum korektif, bukan semata perubahan jadwal. Ini adalah peluang untuk meneguhkan kembali kualitas demokrasi kita yang selama ini terlalu dibebani oleh pemilu simultan yang melelahkan secara fisik dan substansi. Namun agar momentum ini tak sia-sia, seluruh pemangku kepentingan harus bergerak bersama—melampaui ego kelembagaan dan kalkulasi politik jangka pendek.

Karena sesungguhnya, menjaga demokrasi bukan hanya tentang memfasilitasi pemungutan suara, tapi memastikan bahwa suara rakyat benar-benar didengar, dipahami, dan ditindaklanjuti secara adil.

Referensi:

– Putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 
– Laporan Perludem: Evaluasi Pemilu Serentak 2019 dan 2024, www.perludem.org 
– Hukumonline.com, “MK Putuskan Pemilu Nasional dan Lokal Dipisah Mulai 2029”, 23 Juli 2024 
– Data internal Bawaslu RI dan pengalaman pengawasan lapangan Pilkada serentak 2020 dan Pemilu 2024

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *