Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kab. Tangerang
Tintaindonesia.id, Opini – Sisi terbaik dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah meletupkan percakapan publik. Membuka ruang diskusi berbasis argumentasi. Seraya meningkatkan kualitas pertukaran informasi dari segala sisi.
Putusan mahkamah tentang pengaturan keserentakan Pemilu ini seperti membuka kotak padora, meyebulkan aneka persoalan kepemiluan ke permukaan. Dalam mitologi Yunani, kotak pandora adalah sebuah misteri yang tertutup, lantas terbuka.
Benar, dominasi perdebatan yang paling menyita atensi; apakah judicial order dari MK ke para pembuat undang-undang bisa dilaksakan atau tidak. perintah itu disebut ultra petita (pengabulan melampaui permohonan), terlalu detil mengurus teknis yang mestinya menjadi open legal policy (kebijakan terbuka), dan deklarasi keras bahwa MK inkonsisten sekaligus inkonstitusional.
Sumber respon kontra ini mayoritas bersumber dari elit politik dan parlemen. Sementara para pakar, pegiat isu kepemiluan, akademisi, penyelenggara, dan intelektual kritis, memberikan perspektif yang lain. Per definisi, pola saling tanggap ini terkesan opposition biner (saling berlawanan). Senyatanya tidak. Lantaran masih ada diskursus yang merambah tema-tema lebih penting.
Baca juga : Narasi Kekuasaan di Era Digital: Analisis Isu Ijazah Palsu Jokowi dan Pergulatan Makna di Media Sosial
Pelacakan paling awal menyetuh aspek genting dan mendesak. Melakukan perbaikan, revisi atau perubahan terhadap Undang Undang Pemilu. Kebutuhan mendesak ini menemukan momentum di saat ini, dan tambah kencang dengan keluarnya putusan MK. Tertutup sudah ruang pengabaian di parlemen. Kita berpengalaman pasca Pemilu 2019. Saat itu desakan perubahan UU Pemilu begitu kuat, namun DPR menguci rapat, bahkan rencana pembahasan menghilang dari Prolegnas (Program Legisasi Nasional).
Daya ledak putusan itu menggedor benak khalayak. Percakapan publik kini menyasar isu-isu tambahan (terkait sistem pemilu). Di sisi lain, kalangan masyarakat sipil kini memiliki wawasan baru, bahwa begitu banyak alasan untuk segera membahas revisi UU Pemilu.
Di aras sistemik, putusan yang bermula dari uji materi oleh Perludem ini, memaparkan problem rumit Pemilu Lima Kotak (di 2019 dan 2024) sekaligus resolusi yang wajib ditindaklanjuti. Betapa banyak korban meninggal, redupnya agenda lokal oleh kontestasi Pilpres, kualitas penyelenggaraan di bawah standar (angka suara tak sah tinggi, jauh di atas standar internasional, mecapai 8%n dan 10%), kejenuhan pemilih, kerumitan produksi dan distribusi logistik, sampai tetap tingginya pelaggaran atau sengketa. Putusan MK memaksa semua pihak melakukan reevaluasi atas sistem Pemilu kita.
Baca juga : Akar Masalah Bongkar Pasang Sistem Pemilu
Di level teknis, diskursus perbaikan elemen sistem Pemilu kian menguat. Pemilu bermartabat (genuine election), tercermin dari sistem yang adil dan jujur. Maka perbaikan elemen teknis menjadi perlu.
Opini para ahli tentang hal ini bermunculan. Tema-tema seputar penataan daerah pemilihan, penerapan sistem proporsioal campuran, menghitung kembali ambang batas parlemen, menerapkan konversi suara ke kursi dengan formula BPP (bilangan pembagi pemilih), pola rekrutmen calon, penegakan hukum, sampai soal seleksi penyelenggara sebelum tahapan Pemilu dimulai, kerap bermuculan.
Semula, elemen teknis ini mejadi isu minor, kini major (sering diwacanakan).
Sepertinya ini paralel dengan pergeseran selera diskusi publik di media sosial, yang mulai gandrung terhadap pembahasan mendalam, argumentatif, merujuk pada influencer yang kompeten, serta gelisah terhadap perbaikan demokrasi politik. Termasuk isu-isu seputar Pemilu.
Lalu bagaimana artikulasi kita dengan algoritma isu Pemilu yang sedang hits ini?
Mengawal putusan MK adalah kemestian, ini langkah pertama. Ingat, ada belasan amar putusan yang wajib masuk di UU Pemilu yang baru, bukan hanya soal pengaturan keserentakan. Langkah kedua, sebagaimana dilakukan Perludem dan kalangan masyarakat madani lainya, mersepon setiap penyesatan informasi dan pemutarbalkan fakta. Melucurkan variasi informasi secara intensif, bukan hanya bermakna terhadap edukasi publik, melainkan memperluas dukungan untuk advokasi.
Baca juga : Pacu Jalur Putusan MK (Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal)
Gerakan memperkuat partisipasi bermakna (meaningful participations) ke banyak segmen masyarakat sipil, termasuk dengan kalangan penyeleggara. Evaluasi bersama, bedah kasus, dan rekomedasi aksi, akan berguna dalam berhadap-hadapan dengan agenda tersembunyi para aktor. Ini langkah ketiga.
Memperbanyak upaya kreatif untuk melambungkan isu Pemilu, sebagai langkah keempat, adalah mengokohkan jejaring dan melipatgandakan partisiaspi aktif publik. Saat ini, cukup banyak influencer dan konten kreator yang berani kritis dan berpihak pada jeritan rakyat. Insya Allah.