Narasi Kekuasaan di Era Digital: Analisis Isu Ijazah Palsu Jokowi dan Pergulatan Makna di Media Sosial

Opini684 Dilihat

Oleh : Endang Suhendar (Pengamat Komunikasi Politik)

Tintaindonesia.id, Opini – Transformasi besar dalam komunikasi politik terjadi seiring berkembangnya media sosial sebagai arena utama pertarungan wacana. Kasus tuduhan ijazah palsu terhadap Presiden Joko Widodo menjadi studi kasus penting yang memperlihatkan bagaimana isu politik dapat dikonstruksi, didistribusikan, dan diperkuat melalui jaringan digital. Ini bukan semata perkara administratif, melainkan bagian dari kontestasi politik yang kompleks dan berlangsung secara terbuka di ruang maya.

Media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, hingga YouTube telah menjadi medan tempur utama dalam membentuk persepsi politik publik. Tidak hanya berfungsi sebagai alat berbagi informasi, media sosial telah menjelma menjadi produsen realitas alternatif. Dalam konteks ini, narasi mengenai keabsahan ijazah Presiden Jokowi menyebar bukan melalui lembaga resmi, tetapi melalui potongan-potongan informasi yang viral, dari video pengadilan, tangkapan layar dokumen, hingga meme dan satire digital.

Penyebaran isu tersebut menjadi bukti bahwa kekuatan komunikasi politik di era digital tidak lagi bergantung pada media arus utama. Masyarakat kini menjadi aktor aktif dalam mengonstruksi dan menyebarkan makna. Mereka tidak sekadar mengonsumsi informasi, tetapi juga menafsirkannya, menyebarkannya, bahkan mereproduksi ulang narasi tersebut dalam berbagai bentuk. Pola ini menunjukkan bahwa opini publik kini dibentuk oleh sistem interaktif yang cair, instan, dan sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial digital.

Baca : Permanent Campaigning: Strategi Politik Era Digital di Indonesia

Salah satu hal menarik dalam kasus ini adalah bagaimana Presiden Jokowi merespons tuduhan tersebut. Bukannya menyampaikan klarifikasi administratif secara langsung, Jokowi justru menarasikan bahwa isu ijazah palsu ini adalah bagian dari “agenda besar politik”. Pernyataan tersebut menggeser arah perdebatan publik. Ia tidak sedang membela diri semata, tetapi sedang membingkai ulang wacana agar isu ini terlihat sebagai bagian dari strategi politik lawan.

Pernyataan Jokowi tersebut bisa dibaca sebagai bentuk komunikasi kekuasaan yang cerdas. Dalam dunia politik, penguasaan narasi sering kali lebih penting daripada penguasaan data teknis. Dengan menyebut bahwa ada agenda besar di balik isu ini, Jokowi tidak hanya mendefensifkan diri, tetapi juga menyerang balik. Ia memberi sinyal bahwa ini bukan serangan hukum, melainkan bagian dari strategi destabilisasi kekuasaan yang dilakukan oleh aktor-aktor politik tertentu.

Teori Framing sangat relevan untuk memahami respons Jokowi dan bagaimana media sosial memainkan peran besar dalam penyebarannya. Framing bukan hanya tentang bagaimana informasi disampaikan, tetapi tentang bagaimana suatu realitas disusun agar terlihat dengan cara tertentu. Dengan menyatakan bahwa ia menjadi korban konspirasi politik, Jokowi membentuk kerangka interpretatif baru bagi para pendukungnya. Publik diajak untuk melihat isu ini bukan sebagai fakta, tetapi sebagai rekayasa.

Tak hanya dari sisi presiden, framing juga dilakukan oleh para lawan politik yang terus menggulirkan isu ini meski tidak pernah terbukti secara hukum. Mereka membingkai isu ini sebagai simbol ketidakterbukaan Jokowi, yang dianggap mencerminkan ketidaksahihan legitimasi kekuasaan. Framing semacam ini memperkuat narasi delegitimasi dan menjadi alat ampuh untuk membentuk persepsi negatif yang berkelanjutan.

Dalam kerangka teori Konstruksi Realitas Sosial oleh Berger dan Luckmann, isu ini juga memperlihatkan tiga tahapan utama dalam pembentukan realitas sosial: eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Pertama, narasi tentang ijazah palsu diungkap ke ruang publik melalui media sosial. Kedua, narasi ini diulang, diperkuat, dan akhirnya dianggap objektif. Ketiga, masyarakat yang terus-menerus terpapar informasi ini menginternalisasi narasi tersebut sebagai sebuah kebenaran—tanpa memerlukan pembuktian formal.

Proses konstruksi realitas ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang menampilkan informasi serupa berdasarkan preferensi pengguna. Akibatnya, ruang gema tercipta. Masyarakat tidak lagi mendengarkan pandangan berbeda, melainkan hanya memperkuat keyakinan sendiri. Dalam ruang sempit ini, fakta bisa dengan mudah dikalahkan oleh persepsi dan emosi.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa kekuatan politik di era digital bukan hanya terletak pada lembaga negara atau partai politik, tetapi juga pada siapa yang mampu mengendalikan narasi di ruang publik maya. Presiden Jokowi, melalui pernyataannya, telah menggeser arena pertarungan dari pengadilan administratif ke panggung opini publik. Dan di era media sosial, opini publik bisa menjadi lebih menentukan daripada keputusan hukum.

Baca juga : Saat Rudal Berbicara, Narasi Berperang: Analisis Komunikasi Politik Israel–Iran

Peran media sosial sebagai akselerator framing membuat sebuah isu politik dapat berlangsung lebih lama daripada yang seharusnya. Isu tersebut dipelihara dengan berbagai bentuk konten kreatif yang terus memancing interaksi publik. Walaupun tak ada bukti baru yang signifikan, isu bisa tetap hidup karena ditopang oleh minat publik yang tinggi dan pertarungan narasi yang terus diperbarui.

Narasi “agenda besar politik” yang disampaikan Jokowi kemudian menjadi titik balik penting dalam komunikasi politiknya. Banyak pendukungnya menggunakan narasi tersebut sebagai alat tanding di media sosial. Sebaliknya, pihak oposisi menggunakannya untuk memperkuat tuduhan bahwa Jokowi menghindari klarifikasi konkret. Ini menciptakan medan pertarungan opini yang tajam dan memperlihatkan betapa rentannya demokrasi digital terhadap manipulasi narasi.

Yang lebih berbahaya adalah bahwa pertarungan narasi ini dapat menyebabkan polarisasi sosial yang semakin menguat. Di tengah minimnya literasi media, masyarakat menjadi mudah terbelah dalam dua kutub informasi yang saling menegasikan. Setiap pihak merasa memiliki kebenaran absolut. Dalam kondisi demikian, diskusi rasional dan dialog konstruktif menjadi sulit tercapai.

Untuk keluar dari situasi ini, dibutuhkan kesadaran kolektif bahwa tidak semua informasi yang viral adalah benar. Perlu ada upaya peningkatan literasi digital yang masif dan berkelanjutan, baik melalui pendidikan formal maupun inisiatif komunitas. Masyarakat harus didorong untuk berpikir kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh opini yang dibalut dengan retorika politik.

Di sisi lain, para aktor politik juga harus lebih bertanggung jawab dalam menyampaikan pesan politiknya. Penggunaan framing memang sah dalam strategi komunikasi, tetapi ketika dilakukan secara berlebihan tanpa basis fakta, maka yang terjadi adalah pembusukan ruang publik. Komunikasi politik seharusnya membangun kepercayaan, bukan membelah masyarakat.

Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya etika komunikasi di era digital. Bagaimana suatu isu dikomunikasikan dapat memengaruhi stabilitas politik, kepercayaan publik terhadap institusi, dan kualitas demokrasi itu sendiri. Maka dari itu, baik pemerintah, media, maupun masyarakat sipil perlu membangun kolaborasi untuk menciptakan ekosistem informasi yang sehat dan berintegritas.

Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa narasi adalah senjata utama dalam politik digital. Isu ijazah palsu Jokowi adalah contoh nyata bagaimana narasi dapat dibentuk, digeser, dan dikendalikan melalui strategi framing dan konstruksi sosial. Di era post-truth, siapa yang mampu menguasai narasi publik, dialah yang menguasai realitas politik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar