Pelecehan Seksual: Darurat Nasional yang Terus Mengintai Perempuan dan Anak

Opini, Uncategorized348 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Winda Sari (Aktivis Perempuan, Pengurus Kohati BADKO Jabodetabeka-Banten)

Tintaindonesia.id, Opini — Setiap hari, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: perempuan dan anak-anak terus menjadi korban pelecehan seksual. Ini bukan sekadar catatan kriminal biasa, melainkan darurat nasional yang merampas hak dasar manusia — hak atas rasa aman, martabat, dan perlindungan.

banner 336x280

Data Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 mencatat lebih dari 20 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan mayoritas berupa kekerasan seksual. Namun angka ini hanyalah puncak gunung es. Banyak kasus lain tidak pernah tercatat karena korban memilih diam, enggan melapor, atau bahkan tidak tahu ke mana harus mencari keadilan.

Lebih menyedihkan lagi, pelaku kekerasan seksual seringkali berasal dari lingkaran terdekat korban: ayah, paman, guru, tetangga, atasan, bahkan tokoh agama. Relasi kuasa dan kedekatan emosional membuat korban terjebak dalam dilema: melawan berarti kehilangan rasa aman; diam berarti menanggung luka seumur hidup.

Anak-anak, dengan keterbatasan dalam membela diri dan mengenali bentuk kekerasan, menjadi target paling rentan. Kasus kekerasan seksual di sekolah dan pesantren yang terungkap belakangan ini menjadi bukti bahwa bahkan ruang pendidikan belum tentu aman.

Ironisnya, ketika korban akhirnya berani bersuara, mereka sering kali dihadapkan pada sistem yang tidak berpihak. Mereka harus “membuktikan” pengalaman traumatisnya, menghadapi stigma sosial, bahkan kerap dipaksa berdamai demi nama baik keluarga atau institusi. Sementara itu, pelaku bisa saja bebas karena minim bukti, relasi kuasa, atau celah hukum.

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022 seharusnya menjadi angin segar. Sayangnya, implementasinya masih belum optimal di lapangan, baik di tingkat aparat penegak hukum maupun di institusi sosial lainnya.

Masalah ini berpangkal dari budaya patriarki yang telah mengakar kuat. Perempuan masih sering dipandang sebagai objek, tubuhnya dianggap milik publik — bebas dikomentari, disentuh, bahkan dikendalikan. Masyarakat kita masih gemar menyalahkan korban: “Kenapa pakaiannya seperti itu?” atau “Kenapa keluar malam-malam?” Kalimat-kalimat semacam ini tidak hanya menyakitkan, tapi juga memperkuat ketidakadilan struktural terhadap perempuan.

Di tengah era digital, bentuk kekerasan seksual juga berevolusi. Kini kita menyaksikan kekerasan seksual berbasis digital: ancaman seksual melalui pesan, penyebaran konten intim, hingga doxing terhadap korban. Dunia maya pun tidak luput dari ancaman.

Sebagai aktivis perempuan dan pengurus Kohati BADKO Jabodetabeka-Banten, saya percaya perjuangan melawan pelecehan seksual tidak bisa dibebankan hanya pada satu pihak. Ini adalah kerja kolektif yang membutuhkan sinergi semua unsur bangsa — negara, masyarakat sipil, lembaga pendidikan, media, dan keluarga. Beberapa langkah konkret yang harus segera dilakukan, antara lain:

1. Edukasi Seksual Komprehensif Sejak Dini

Anak-anak perlu dibekali pemahaman mengenai batas tubuh, hak atas tubuh sendiri, serta keberanian untuk berkata “tidak” dan melapor.

2. Sistem Pelaporan dan Pendampingan yang Ramah Korban

Pemerintah harus memperkuat Lembaga Layanan Terpadu yang mampu melindungi korban secara fisik, psikis, dan hukum.

3. Penegakan Hukum yang Tegas dan Berkeadilan

Aparat penegak hukum perlu dilatih untuk memiliki perspektif korban dan kepekaan gender dalam menangani kasus kekerasan seksual.

4. Penciptaan Lingkungan Aman di Semua Ruang

Ruang publik, institusi pendidikan, tempat kerja, dan platform digital harus dirancang dengan mekanisme pencegahan, deteksi dini, dan penanganan kekerasan.

Kita harus mengubah narasi: pelecehan seksual bukanlah aib korban, tetapi kejahatan pelaku. Tidak ada lagi ruang untuk normalisasi kekerasan atau pembungkaman korban atas nama budaya, moral, atau nama baik keluarga.

Saatnya kita membangun budaya keberanian: berani bersuara, berani melindungi, dan berani menindak. Perempuan dan anak-anak berhak hidup aman, dihormati, dan bermartabat. Dan perjuangan itu dimulai dari kita semua.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *