Doktrin Walayatul Faqih: Keunggulan Sekaligus Kekurangan Terbesar Iran

Opini27 Dilihat
banner 468x60

oleh Irsyad Mohammad
Alumni Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Pengalamat Geopolitik, dan Pengamat Timur Tengah Prolog Initatives

Tintaindonesia.id, Opini – Sejak 11 Februari 1979—nama “Republik Islam Iran” resmi terpatri di Teheran. Hampir lima dasawarsa kemudian, republik unik yang menempatkan seorang ulama sebagai pemegang mandat politik tertinggi itu masih tegak, meski terus diguncang sanksi ekonomi, gelombang protes, perang perantara, dan bayang-bayang operasi rahasia musuh eksternal. Di jantung keteguhan sekaligus kerapuhannya bersemayam sebuah doktrin yang digagas Ayatullah Ruhullah Khomeini atau lazim dijuluki “Imam Khomeini”— Walayatul Faqih (kewalian ahli fiqih), yakni kewenangan politik tertinggi yang berada di tangan pemimpin spiritual tertinggi atau dalam tradisi Islam mazhab Syi’ah 12 Imam (Itsna Asy’ariyah) disebut Marja’ Taqlid (ulama yang dapat menjadi rujukan fiqih dan fatwanya terkait fiqih dalam ditaklidkan), seorang marja’ taqlid juga lazim dijuluki “Hujjatul Islam.” Walayatul Faqih adalah sebuah sistem pemerintahan yang Imam Khomeini perkenalkan dalam bukunya Hukumat-e Islami atau Islamic Government: Governance of the Jurist (1970). Seseorang yang memegang jabatan Walayatul Faqih memiliki panggilan resmi dalam bahasa Persia, Rahbar (Pemimpin Tertinggi) atau dalam literatur bahasa Inggris biasanya ditulis “Supreme Leader.”

banner 336x280

Sistem Walayatul Faqih menyatakan bahwa Republik Islam harus dipimpin oleh seorang faqih yang saleh, adil, kompeten dalam ilmu-ilmu agama (mujtahid), tegas, dan tidak takut kepada tekanan asing. Rahbar inilah yang memiliki kewenangan dalam mengeluarkan fatwa terkait agama yang mana fatwanya dapat ditaklidkan serta diikuti oleh rakyat Iran, juga dapat menjadi rujukan hukum fiqih terutama di kalangan Muslim Syi’ah. Seorang Walayatul Faqih tidak hanya menjadi Rahbar namun juga menjadi “Wali Spiritual” yang membimbing rakyat secara moral dan mengawal kewenangan Presiden yang dipilih oleh rakyat.

Imam Khomeini dan para ulama Syi’ah Iran yang kebanyakan lulusan Qom, meyakini bahwa demokrasi model Barat bukanlah solusi tepat untuk Iran. Sebab demokrasi Barat menurut Imam Khomeini hanya dapat berjalan lancar apabila rakyat sudah makmur dan kualitas sumber daya manusianya terdidik, juga demokrasi Barat rentan jatuh kepada nilai-nilai liberalisme, materialisme, dan sekulerisme yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Oleh karenanya menurut Imam Khomeini harus ada seorang Faqih yang adil yang mampu menjad Wali untuk membimbing secara spiritual. Sistem ini membuat terjadinya “aristokrasi intelektual” di Iran, terbukti sejak 1979 hingga sekarang dalam setiap pilpres di Iran tidak pernah ada Presiden Iran yang berlatarbelakang pengusaha ataupun militer yang menjadi Presiden, semuanya adalah para intelektual Iran.

Berbeda dengan Presiden Iran yang dipilih oleh rakyat dan menjadi kepala pemerintahan Iran, Walayatul Faqih dipilih lewat Majelis Ahli (Assembly of Experts) yang dipilih oleh rakyat lewat pemilu, kebanyakan isi anggotanya adalah para ulama. Majelis Ahli inilah yang memilih seorang Rahbar yang berkuasa seumur hidup. Rahbar berfungsi sebagai kepala negara, oleh karenanya ia memegang banyak posisi strategis – militer Iran, Pasukan Garda Revolusi Iran atau Pasdaran (IRGC), Basij (Paramiliter Iran), melantik ataupun memberhentikan Presiden Iran, menunjuk 6 dari 12 anggota Dewan Konstitusi Iran, menyatakan perang ataupun perdamaian, dapat mengangkat serta memberhentikan maupun menerima surat pengunduran diri: Ketua Lembaga Kehakiman di Iran, Pemimpin Pasdaran

dan Basij, Kepala Staf setiap angkatan militer di Iran, Ketua Lembaga Penyiaran Nasional Iran (IRIB).

Oleh karenanya kekuatan Rahbar atau Walayatul Faqih sangat besar sekali, hal ini tidak lepas dari doktrin “Imamah” yang merupakan raison d’etre dari teologi Islam Syi’ah 12 Imam (Itsna Asy’ariyah) yang meyakini bahwa Imam Mahdi atau Imam ke-12 sedang mengalami keghaiban atau “ghaibah kubro” yang mana masa keghaiban Imam Mahdi, maka perlu ada seorang Wali yang memegang “hak-hak Imam Mahdi” untuk memimpin agama dan pemerintahan di dunia sampai kedatangan Imam Mahdi, barulah jabatan Walayatul Faqih itu diberikan kepada Imam Mahdi. Singkatnya Walayatul Faqih memiliki wewenang selayaknya Imam Mahdi, namun minum kemaksuman dan tidak suci tanpa dosa. Muslim Syi’ah meyakini bahwa 12 Imam dari sejak Imam Ali bin Abi Thalib (RA) hingga Imam Mahdi ma’sum (suci tanpa dosa) sebagaimana para Nabi, sehingga gelar Imam Ali hingga Imam Mahdi di belakang namanya biasanya ditulis dengan gelar Alaihissalam (AS) di dalam literatur-literatur Syi’ah. Sistem ini diterima lewat Referendum Konstitusi Iran 1979 yang dimenangkan dengan 99,5% suara. Rakyat Iran kala itu bisa menerima sistem Walayatul Faqih dengan sebuah klaim yang sangat besar “mewakili ketiadaan Imam Mahdi” sampai waktu kedatangannya tiba, sebab Imam Khomeini selama ini menjadi figur utama Pemimpin Revolusi Islam dan hidupnya juga sangat asketis dan sederhana, sehingga rakyat percaya bahwa ia akan menjadi figur pemimpin yang adil.

Doktrin Walayatul Faqih pernah mempersatukan jutaan rakyat Iran di bawah panji keadilan, semangat kesyahidan Imam Husein (RA), dan anti-tirani-Shah hingga anti-imperialisme serta ne-kolonialisme Barat dan Israel, tetapi kini kerap dipersalahkan sebagai penghalang demokratisasi dan sumber stagnasi. Mengapa satu konsep bisa tampil sebagai kekuatan sekaligus kelemahan terbesar Iran? Jawabannya terletak pada genealogi legitimasi: siapa yang memegang obat mujarab revolusi dan siapa yang kehabisan dosis historisnya.

Legitimasi Walayatul Faqih dan Para Ulama yang Dibangun atas Darah

Pertama, sulit memahami Republik Islam tanpa melacak jejak para mujahid mujtahid yang menumbangkan Syah pada 1979. Ayatullah Ruhullah Khomeini, Ayatullah Ali Khamene’i, Ali Syar’ati, Mohammad Beheshti, Murtadha Muthahhari, Ali Akbar Rafsanjani, dan para ulama Qom (Seminari Qom; tempat pusat pendidikan teologi Mazhab Syi’ah 12 Imam), lain bukanlah “ulama menara gading”; mereka mengenyam pembuangan Najaf, interogasi SAVAK (intelijen Iran zaman Shah Mohammad Reza Pahlavi), dan keringat demonstrasi jutaan rakyat. Bahkan Mustafa Khomeini, putra Imam Khomeini dibunuh oleh SAVAK pada tahun 1977. Kendati putranya dibunuh dan Imam Khomeini dibuang ke Najaf, Irak – tetap saja Imam Khomeini menyuarakan perlawanan terhadap Shah dan ia tidak menyerah. Ketika negara-negara lain di Timur Tengah menolak negerinya menjadi tempat pembuangan Imam Khomeini, kemudian Imam Khomeini menyatakan: “berikan saya 1 kapal di perairan internasional dan saya akan tetap teriakkan perlawanan meski dalam kesendirian!

Akhirnya Perancis, negeri yang memiliki hubungan dekat dengan Shah Mohammad Reza Pahlevi memperbolehkan negerinya menjadi tempat pembuangan Imam Khomeini. Kebetulan di Perancis terdapat banyak sekali mahasiswa Iran dan simpatisan Imam Khomeini di sana. Di Paris menjadi tempat yang mudah bagi Imam Khomeini untuk menyebarkan kaset-kaset berisi rekaman pidatonya yang mengutuk Shah dan kekuasaannya, di sinilah kaset-kasetnya diselundupkan ke Iran serta didengarkan oleh jutaan rakyat Iran. Kaset-kaset

inilah yang menjadi bara perlawanan revolusi. Di Perancis Imam Khomeini tidak mendapatkan pengawasan seketat di Irak pada masa rezim Ba’ath Irak ataupun di Turki. Imam Khomeini relatif mudah menerima wrtawan asing untuk mewawancarainya. Di Perancis, Imam Khomeini berhasil meraih simpati dunia internasional bahkan ketika Natal tiba di Perancis, keluarganya membuatkan kue untuk dibagikan ke tetangga-tetangganya di Perancis yang merayakan Natal dan ia pun mengucapkan “Selamat Natal” untuk tetangga-tetangganya di Perancis. Di sini terlihat Imam Khomeini sendiri ialah sosok yang cukup moderat dalam beragama, bahkan ia pun menyerukan persatuan Muslim Sunni-Syi’ah dan mewaspadai adu domba terhadap Sunni-Syi’ah.

Sampai akhirnya ia dibuang ke Paris, Perancis. Dari Perancis inilah rekaman kaset pidato-pidatonya yang mengutuk Shah diselundupkan ke Iran dan didengar jutaan orang Iran,

Dalam sejarahnya, para arsitek Revolusi terdiri dari “mu-” rangkap tiga: mujahid, mujtahid, dan musafir perlawanan. Mereka memadukan ilmu Hawzah Ilmiyah Qom, sel tahanan SAVAK, pembuangan, pembungkaman, hingga ancaman rezim, dan hiruk-pikuk demonstrasi jalanan menjadi satu narasi moral menumbangkan Syah Mohammad Reza Pahlavi. Legitimasi mereka bukan hanya lahir dari fatwa ataupun jubah serta sorban mereka, tetapi dibubuhkan dengan darah kawan sepenjara, gas air mata di Jaleh Square – Teheran, dan derap kaki jutaan peziarah di Karbala yang bergema di jalan-jalan Teheran. Itulah mengapa, ketika konstitusi 1979 menetapkan Walayatul Faqih sebagai “penjaga tertinggi” revolusi, rakyat menerimanya: ulama-ulama itu sudah lebih dulu membayar mahar legitimasi lewat penderitaan kolektif.

Dari kisah heroik revolusi inilah para ulama dan intelektual Islam di Iran punya legitimasi historis atas rakyat Iran. Kebersatuan antara fatwa dan pengorbanan itulah yang membuat mayoritas rakyat Iran menerima para kepemimpinan para pemuka agama mereka, sebab mereka dianggap berjuang bersama rakyat dan “manunggal dengan rakyat” saat melawan tirani kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlevi. Hal inilah yang membuat gagasan Walayatul Faqih—kewalian seorang ahli fikih atas urusan politik—sebagai solusi vakum kepemimpinan sepeninggal Shah dan dalam kegaiban Imam Mahdi diterima rakyat dalam Referendum Konstitusi Iran 1979. Konstitusi 1979 kemudian memaku ide itu lewat Pasal 5 dan 110, menobatkan Walayatul Faqih sebagai pengendali militer, kehakiman, media, dan veto parlemen.

Namun fondasi yang dibangun di tengah bara revolusi segera diuji ledakan maut. Pada Bulan Tir dalam Kalender Persia tepatnya 7 Tir 1360 (28 Juni 1981), sebuah bom menyapu bersih markas Partai Republik Islam—Tragedi Hafte-Tir yang menewaskan Ketua Mahkamah Ayatullah Mohammad-Beheshti, Ayatullah Murtadha Muthahhari dan puluhan tokoh kunci. Dalam hitungan bulan Presiden Mohammad-Ali Rajaʾi, Ayatullah Murtadha Muthahhari dan Perdana Menteri Mohammad-Javad Bahonar ikut gugur. Serangan bunuh diri berikutnya melumpuhkan tangan kanan Ali Khameneʾi, kala itu Imam khutbah Jumat muda yang baru pulang dari garis depan Perang Iran-Irak. Rangkaian pembunuhan—disebut Teheran sebagai ulah kelompok komunis–Mujahideen-e Khalq (MEK) yang kala itu bersekutu dengan presiden terguling Abolhassan Banisadr—membuat Republik Islam Iran kehilangan hampir separuh “generasi pendiri” atau hanya dua tahun setelah proklamasi.

Presiden Saddam Hussein yang mulai berkuasa pada tahun 1980 mengumumkan perang melawan Irak dan ia pun dibantu oleh Amerika Serikat serta Blok Barat yang takut dengan

pemerintahan Revolusi Islam Iran. Saddam Hussein yang sekuler dianggap pilihan yang jauh lebih baik ketimbang Iran yang Islamis. Saddam Hussein berpikir Iran yang sedang revolusi akan gampang dikalahkan karena instabilitas politik dalam negeri, sayangnya ia salah besar. Invasi Irak mempersatukan seluruh rakyat Iran dan faksi-faksi yang muncul pasca-revolusi, adanya Irak sebagai musuh bersama membuat rakyat bersatu. Walhasil kisah-kisah kesyahidan Imam Husein (RA) kemudian dimunculkan dan muncul lagu-lagu perlawanan seperti “Ey Lashgare Saheb Zaman” (Wahai Laskar Imam Mahdi), bahkan teriakan “Ya Hussein!” dan teriakan rakyat Iran akan membebaskan Karbala bermunculan, sebab Kota Karbala yang dianggap “kota suci umat Syi’ah” berada di Irak dan dipimpin oleh Saddam Hussein yang Sunni.

Walhasil logika pertahanan pun bergeser: dari membumikan utopia ke mengamankan rumah sakit darurat sejarah. Perang delapan tahun melawan Irak yang kala itu dipimpin Saddam Hussein (1980-1988) memperkuat rasa dikepung, bukan saja oleh musuh dalam negeri; namun juga oleh musuh-musuh dari luar negeri baik dari Blok Barat maupun Timur. Kita jangan membayangkan Iran seperti sekarang yang dekat dengan Rusia dan Tiongkok, Iran pasca-Revolusi tidak didukung oleh dua kekuatan poros dunia baik Barat maupun Timur, sebab mereka masih meraba-raba kemana arah dari Imam Khomeini nantinya akan membawa Iran. Pasca tragedi yang menewaskan banyak “Founding Fathers Iran” para ulama generasi revolusi yang tersisa masih memimpin, tetapi kini berseragam loreng atau merawat korban senjata kimia. Nama-nama seperti Hujjatul Islam Ayatullah Ali Khamene’i (di kemudian hari jadi Presiden Republik Islam Iran [1981-1989] dan kini menjadi Rahbar atau Walayatul Faqih di Iran dari 1989-sekarang]) Ayatullah Hasan Rouhani, Ayatullah Ali-Akbar Hashemi Rafsanjani, hingga “doktor filsafat yang jadi jaksa” Ayatullah Prof. Ebrahim Raisi (di kemudian hari jadi Presiden Iran, meninggal karena kecelakaan helikopter), mereka tampil di pos komando, bukan hanya mimbar. Otoritas moral mereka tersemir lumpur parit dan gema syair duka untuk ribuan basij (pasukan paramiliter Iran) hingga para remaja dan sukarelawan yang melintasi ladang ranjau ketika perang melawan Irak sambil meneriakkan “Ya Hussein!.”

Sementara itu, mereka yang tersisa di garis belakang ilmu pengetahuan memikul tanggung jawab lain: membangun program nuklir dan mengembangkan teknologi militer sebagai asuransi kelangsungan pemerintah Revolusi Islam Iran. Walhasil Iran pasca-Revolusi Islam menjadi salah satu negara Islam yang memiliki pencapaian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Iran dapat mengembangkan mobil mereka sendiri, drone, bahkan berhasil melakukan domba dan riset-riset ilmiah lainnya yang membanggakan. Semangat untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa di Iran dimulai dari kritikan Imam Khomeini terhadap Shah, Imam Khomeini mengutuk Iran di bawah Shah yang menurutnya lebih banyak toko miras ketimbang toko buku. Pasca Imam Khomeini miras dilarang, klub malam ditutup, kasino ditutup, pelacuran dilarang, namun Imam Khomeini berhasil mewujudkan visinya yakni toko buku lebih banyak daripada toko miras. Juga Revolusi Islam Iran ini juga sejalan dengan konsep “Rausyanfikr” (intelektual tercerahkan) yang Ali Syari’ati cetuskan, tentang pentingnya menciptakan intelektual yang tidak berjarak dengan masyarakat dan melebur bersama dengan masyarakat namun juga dilandasi dengan semangat keislaman.

Legitimasi yang Perlahan Pudar dan Kemana Jubah Ini akan Diteruskan?

Embargo dan sanksi serta pengucilan dunia internasional tentunya menyulitkan ekonomi rakyat Iran. Pelan-pelan sudah mulai terdapat kejengahan rakyat Iran terhadap sistem

Walayatul Faqih, bahkan Republik Islam itu sendiri. Perlu diketahui jumlah rakyat Iran hari ini didominasi oleh anak-anak muda yang tidak mengalami Revolusi Islam Iran. Pada saat Revolusi Islam Iran 1979, jumlah penduduk Cuma sekitar 38 juta jiwa dan pada hari ini sekitar 90 juta jiwa. Jumlah ini melonjak drastis karena Imam Khomeini menghapus program KB, karena dianggap bertentangan dengan agama dan terdapat subsidi untuk biaya membesarkan anak di Iran, hingga berbagai subsidi kesehatan dan pendidikan, juga kondisi politik yang mulai stabil pasca berakhirnya Perang Iran-Irak (1980-1988).

Banyak mereka yang lahir pasca-revolusi tidak merasakan ketakutan terhadap rezim Shah Mohammad Reza Pahlavi, mereka hanya mendengar kisah-kisah heroik revolusi di sekolah-sekolah ataupun dari orang tua mereka. Kisah Revolusi Islam Iran ataupun kisah heroik Perang Iran-Irak bukanlah hal yang mereka rasakan, melainkan fakta sulitnya ekonomi Iran akibat embargo, kemudian pengekangan terhadap kebebasan berpakaian, pembatasan terhadap ekspresi anak muda Iran terhadap budaya Barat, dan juga pengucilan dunia internasional atas Iran, serta sensor di internet dan media.

Mulailah muncul suara-suara kritis dari anak muda di Iran, juga muncul dari beberapa orang yang dulu terlibat revolusi. Beberapa dari mereka mulai melirik pemikiran Ali Syari’ati dan menyebut diri mereka kaum “Neo-Syari’atist”, mereka mengutip dan mereinterpretasi ulang banyak pemikiran Ali Syari’ati yang mengkritik para ulama yang menjadi penopang kekuasaan yang menurut Ali Syari’ati adalah para Bal’am (Bilem ben Beor) yang menjadi pemuka agama pendukung Fir’aun.

Kritik Syari’ati di buku-bukunya sebenarnya dikritik kepada ulama-ulama Dinasti Safawi, namun kaum yang mengklaim dirinya “Neo-Syari’atist” ini memakainya untuk mengkritisi para ulama yang sedang berkuasa di Iran dan mendesak terjadinya reformasi demokratis yang nyata. Hal ini terbukti dengan adanya Green Movement pada tahun 2009 yang dipimpin oleh politisi reformis Iran, Mir-Houssain Mousavi (mantan Perdana Menteri Iran 1981-1989) yang menolak kemenangan Mahmoud Ahmadinejad pada Pemilu Iran 2009. Mereka mengutip teladan Ayatullah Ali Sistani di Najaf yang mengawal demokrasi Irak tanpa kursi kekuasaan. Akan tetapi, mekanisme perubahan itu sendiri—majelis ahli 88-orang yang disaring Dewan Penjaga—masih berada dalam orbit Rahbar dan Korps Garda Revolusi (Pasdaran) yang menjaga “roh” revolusi dengan tangan besi. Gerakan ini berhasil ditekan dan Mir-Houssain Mousavi dijadikan tahanan rumah bersama istrinya hingga sekarang. Akibat Green Movement, sensor di Iran terhadap media dan internet menjadi ketat hingga sekarang, ditambah adanya ketakutan akan ancaman dari Israel dan negara-negara Barat yang menggerakkan perlawanan di Iran.

Melihat Iran yang mulai terpecah karena adanya ketidakpuasan dalam negeri, memberikan celah bagi intelijen asing untuk memanfaatkan perpecahan di Iran dengan menggerakkan logistik untuk memobilisasi perlawanan di Iran ataupun di jaringan perlawanan terhadap sistem Walayatul Faqih di luar negeri. Kita bisa lihat di luar Iran, oposisi anti-pemerintah terfragmentasi—dari loyalis monarki Reza Pahlavi, kaum liberal, sosialis sekuler, kaum feminis yang meneriakkan #MahsaAmini hingga jaringan MEK yang bermarkas di Albania ataupun Partai Komunis Iran (Tudeh) yang melakukan perlawanan terhadap Republik Islam Iran di Jerman—berlomba menghidupkan kembali narasi “Iran glamor nan bebas” 1960-an. Mereka memahami paradoks psikologi politik: semakin pemerintah menyensor, semakin viral video rok mini Tehrani yang direstorasi warna 8 mm-nya.

Melihat celah ini bayang-bayang Mossad mulai menebas satu demi satu ilmuwan nuklir Iran—Masoud Ali-Mohammadi (2010), Majid Shahriari (2010), Mostafa Ahmadi-Roshan (2012), dan Mohsen Fakhrizadeh (2020). Target tidak acak: semua sosok pascarevolusi dengan rekam jejak perlawanan atau kontribusi strategis yang bisa menambah oksigen legitimasi teokrasi.

Pola yang sama menyelimuti misteri jatuhnya helikopter di perbatasan Azerbaijan Mei 2024, menewaskan Presiden Ebrahim Raisi—salah satu kandidat terkuat pengganti Rahbar 84-tahun Ali Khameneʾi. Bagi banyak orang Iran, terlepas dari simpati atau antipati, Raisi tetap “anak kandung revolusi”: mahasiswa Hawzah berusia tujuh belas yang sudah mencicipi sel SAVAK, jaksa muda pengadilan pascarevolusi, dan peserta garis depan Perang Iran-Irak. Dengan wafatnya, stok figur kharismatik yang bisa menjembatani memori revolusi dan generasi digital menyusut—persis skenario “pemenggalan kepala simbolik” yang diyakini Teheran sebagai modus intelijen Israel ataupun Amerika Serikat.

Kini giliran ulama pasca-revolusi yang meneruskan sistem—lulusan Hawzah Ilmiyah Qom yang saleh, tekun, tetapi tak lagi memiliki medali luka tembak di Khorramshahr atau kenangan memecah barisan kavaleri Syah di 1978. Di mata remaja Teheran atau mahasiswa Isfahan, mereka hanyalah “para ulama berjubah biasa.” Wibawa teologi tanpa kisah heroik nyaris nihil di ruang publik yang dikuasai TikTok, VPN, dan bayangan boulevard Champs-Élysées versi era Pahlavi yang beredar lewat akun nostalgia diaspora.

Defisit legitimasi ini diperparah embargo ekonomi Amerika Serikat yang membuat inflasi melambung dan mata uang rial terjun bebas. Para insinyur muda lebih mudah mendaftar PhD di Montréal atau start-up di Berlin ketimbang meniti karier di industri minyak yang tercekik sanksi. Fenomena brain drain (perginya orang-orang pintar dari sebuah negara) memotong suplai kader teknokrat yang seharusnya menjadi “akal” republik, sama pentingnya dengan “akal” para ahli fiqih (fuqaha) di Qom.

Namun sejarah Iran menunjukkan bahwa tekanan asing sering menjadi pupuk bagi nasionalisme Syi’ah dan kesempatan untuk menghidupkan kisah Tragedi Imam Husein (RA) di Karbala untuk mengkonsolidasikan dukungan rakyat terhadap penguasa, seperti yang terjadi dalam Invasi Irak pada tahun 1980. Ketika Trump membunuh Jenderal Qasem Soleimani Januari 2020, jutaan rakyat—termasuk pemuda kritis—turun berkabung, melipat spanduk #FreeInternet menjadi bendera “Ya Zahra! Atau “Labbayka Ya Hussein!.” Logika yang sama bisa terulang: bom-bom ataupun rudal Israel atau serangan udara Amerika ke Iran 2025 ini mungkin justru menyatukan masyarakat dalam mode “tiji tibeh (tibo siji, tibo kabeh)”—jatuh satu, jatuh semua—mewarisi etos syahid Karbala yang diasah setiap bulan Muharram. Tentunya rakyat Iran akan kembali bersatu dan akan perang sampai titik darah penghabisan, digerakkan oleh keyakinan mereka akan mati syahid sebagaimana Imam Husein (RA) di Karbala.

Di sinilah letak dilema Walayatul Faqih. Ia diciptakan untuk mencegah kembalinya kezaliman Shah, korupsi oligarki, dan protektorat Barat; ia sukses memobilisasi martir, menjadi simbol bagi diplomat Iran di luar negeri akan keperkasaan Iran, menginspirasi jaringan perlawanan regional lewat proxy-proxy Iran di Lebanon hingga Yaman, mempersatukan Iran serta menstabilkan Iran di tengah perselisihan politik dalam negeri, menjadi simbol pemimpin agama serta spiritual serta tauladan rakyat, dan menahan negara dari skenario kehancuran ala Irak atau Libya. Namun tanpa reservoir legitimasi generasi

pendiri, sistem sama rapuhnya dengan cangkang revolusioner kosong—mudah retak oleh tuntutan kebebasan berekspresi, kesetaraan gender, transparansi ekonomi, dan partisipasi politik lintas-mazhab. Sayangnya wewenang sebesar Walayatul Faqih serta klaim sebagai “Wakil Imam Mahdi” di dunia dapat menjadi kelemahan terbesar di Iran, apabila Walayatul Faqih yang berkuasa tidak memiliki kapabilitas kepemimpinan, ketegasan, dan keadilan, serta legitimasi dari rakyat atas wewenang dan klaim spiritual sebesar itu. Di Iran sendiri stok para ulama yang mengalami Revolusi Islam Iran dan dididik langsung Imam Khomeini sudah mulai menipis, karena banyak dari mereka yang meninggal dibunuh, usia tua, ataupun sakit. Israel dan Amerika Serikat tahu betul tentang kelemahan sistem ini, itu yang menyebabkan banyak operasi intelijen Israel membunuh selain ilmuwan juga tokoh-tokoh kharismatik yang terlibat Revolusi Islam Iran. Bagi banyak rakyat Iran, sayangnya para ulama Qom pasca-revolusi hanya dianggap sarjana teologi biasa dan tidak punya pengalaman menderita bersama rakyat. Berbeda dengan para ulama yang ikut melawan Shah dan merasa kengerian kediktatoran, serta penyelewengan kekuasaan, mereka akan lebih berhati-hati dalam mempergunakan wewenang kekuasan yang mereka punya. Sehingga ada kekhawatiran sistem Walayatul Faqih dapat membuat Iran jatuh kepada kediktatoran teokratis.

Namun sayangnya dalam sejarah Iran modern, pergantian rezim paksa oleh kekuatan asing, selain berisiko melahirkan kekacauan Suriah-Yaman versi Persia, justru dapat memperpanjang umur sistem Walayatul Faqih melalui konsolidasi patriotik lewat propaganda kisah “Kesyahidan Imam Husein (RA).” Sejarah Iran modern adalah sejarah invasi gagal Irak yang membuat pasukan Saddam yang mundur tertekan di Khuzestan. Masih segar dalam ingatan dulu ketika tahun 1980, ketika Amerika Serikat mengirimkan pesawat tempurnya untuk misi menyelamatkan diplomatnya lewat Operation Eagle Claw, malahan berakhir mengenaskan. Pesawat tempur AS jatuh di gurun daerah Khurasan Selatan, tanpa ada peluru Iran satu pun. Cuma karena doa Imam Khomeini dan jutaan rakyat Iran, terlepas ini benar karena doa ataupun memang nasib naas yang jelas rakyat Iran saat itu bersatu di bawah Imam Khomeini secara spiritual dalam melawan Amerika Serikat. Invasi asing bukannya mencerai-beraikan rakyat Iran, malahan mempersatukannya.

Maka masa depan Walayatul Faqih berada di persimpangan. Jika generasi Hawzah pascarevolusi mampu merangkul memori pendirian republik sekaligus mengafirmasi kebebasan warganet, ia mungkin bertransformasi menjadi semacam “teokrasi konstitusional spiritual” yang masih berakar Syi’ah namun elastis demokratis. Tetapi jika ia bertahan sebagai benteng defensif yang memelihara legitimasi lewat martirologi tanpa membuka pintu partisipasi, cepat atau lambat penopang historisnya runtuh bersama wafatnya saksi-saksi medan parit. Saat itu terjadi, pertanyaan tidak lagi sekadar siapa faqih berikutnya, melainkan apakah rakyat masih membutuhkan institusi kewalian politik, atau memilih menegosiasikan ulang kontrak sosial masyarakat Iran tanpa kurator teologi.

Dalam logika syahid Karbala, Imam Husein (RA) berangkat bukan untuk menang dalam arti duniawi; ia pergi agar umat belajar membedakan harkat kebebasan dan kemuliaan iman. Barangkali itulah paradoks terbesar Walayatul Faqih: ia lahir demi menjaga pesan Ashura dari tangan tiran, tetapi ia juga bisa tergelincir menjadi Yazid baru bila lupa bahwa legitimasi tertinggi tetap berasal dari suara rakyat—suara yang hari ini kian lantang lewat layar enam inci, bukan pekik “Allahu Akbar” di atap Gedung pada tahun 1979. Masa depan Iran, lebih dari sebelumnya, bergantung pada kesanggupan para penjaga revolusi membaca bisikan generasi yang tidak pernah merasakan bau mesiu Syah namun tahu persis harga kebebasan di

era global. Jika mereka gagal, populasi muda yang frustrasi mungkin akan menulis bab revolusi baru tanpa perlu menjatuhkan bom—cukup dengan menukar jaringan VPN menjadi senjata perlawanan non-fisik.

Kekuatan terbesar Iran—legitimasi moral para mujtahid pejuang—sedang menipis; kelemahan terbesarnya—rigiditas institusi tanpa legitimasi—sedang menebal. Bagaimana kisahnya berakhir akan ditentukan di titik pertemuan kenangan Karbala, Tragedi Hafte Tir, dan tuntutan live-streamed Majid Majidi Film Festival generasi Z. Republik Islam masih bisa memilih: berdamai dengan waktu dan membuka pintu ijtihad politik baru, atau dipaksa sejarah untuk menanggalkan jubah sakral demi kontrak sosial yang lebih egaliter. Satu hal pasti: bangsa yang diwarisi legenda “hidup mulia atau mati syahid” tidak akan menunggu fatwa untuk menuntut martabat. Mereka sudah menuliskannya di dinding Teheran—dan di server cloud yang tak bisa dijangkau senjata Pasdaran. Dunia hanya menanti bab berikutnya.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *