oleh : Endang Suhendar (Pengamat Komunikasi Politik)
Tintaindonesia.id, Opini – Perang antara Iran dan Israel bukan sekadar tentang kekuatan militer, melainkan juga melibatkan cara komunikasi politik yang dipakai oleh masing-masing negara untuk memengaruhi pandangan masyarakat, memperluas dukungan, dan menyusun narasi sebagai pihak yang benar. Di zaman teknologi digital dan media internasional ini, komunikasi politik menjadi alat penting bagi negara-negara yang terlibat konflik untuk mendapatkan persepsi dan pengakuan dari publik baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Bagi Israel, strategi komunikasi politik dilakukan dengan menggunakan teknologi komunikasi modern dan media mainstream untuk menyusun narasi sebagai negara yang bertahan dari serangan luar. Mereka mengedepankan pesan utama berupa “hak untuk membela diri” melalui berbagai saluran seperti media sosial, konferensi pers, dan pidato dari pejabat teras negara.
Konten visual yang dihasilkan dari teknologi pertahanan Israel, termasuk sistem Iron Dome yang mampu menghentikan serangan roket dari Iran dan sekutunya, dijadikan simbol tekad negara untuk melindungi warganya. Gambaran ini dipadukan dengan narasi tentang “ancaman dari Iran” yang terus digaungkan untuk memperkuat solidaritas dalam negeri dan menarik dukungan dari negara-negara Barat.
Sebaliknya, Iran mengandalkan cara komunikasi politik yang lebih simbolis dan berbasis moral. Mereka mengangkat narasi tentang “pembela kedaulatan” dan “korban agresi” sebagai pesan inti yang disuarakan melalui media resmi dan saluran komunikasi lainnya. Berbagai pidato dari pemimpin agama dan pejabat tinggi Iran menekankan nilai perlawanan, semangat anti-imperialis, serta solidaritas dengan Palestina.
Iran juga menggunakan simbol-simbol agama dan narasi perjuangan untuk mendulang simpati dari negara-negara Muslim dan kelompok global yang mendukung. Dengan mengangkat isu Palestina dan menggambarkan Israel sebagai agresor, Iran menciptakan narasi yang dapat diterima oleh banyak kalangan, terutama di wilayah Timur Tengah.
Persaingan dalam komunikasi ini juga tampak dari cara media global dan media sosial beroperasi. Israel dan Iran memanfaatkan teknologi digital untuk menciptakan, menduplikasi, dan menyebarkan konten yang dapat memengaruhi pandangan publik. Platform seperti Twitter/X, Instagram, dan YouTube digunakan sebagai alat komunikasi strategis untuk mencapai audiens global dan menggalang dukungan dari berbagai negara.
Melalui saluran digital, kedua belah pihak aktif membuat tagar, video singkat, infografis, hingga narasi ekstensif yang menjadikan media sosial sebagai “area pertempuran kedua” selain dari lokasi perang fisik. Konten ini dapat menyebar dengan cepat dan membuat narasi tertentu menjadi viral, menjadikan komunikasi digital sebagai alat strategis untuk mempengaruhi opini dan sikap politik di masyarakat.
Dinamika komunikasi ini dapat dipahami dengan menggunakan Teori Framing dari Goffman (1974), yang mengungkapkan bahwa aktor politik proaktif dalam membingkai peristiwa agar dapat diterima sesuai dengan maksud dan kebutuhan strategis mereka masing-masing. Israel membentuk narasi sebagai negara yang diserang, sementara Iran menampilkan narasi sebagai pihak yang berjuang melawan agresi dan penindasan.
Di samping itu, komunikasi ini juga dapat dianalisis melalui Teori Agenda Setting dari McCombs dan Shaw (1972), yang menunjukkan bahwa siapa saja yang memiliki kendali atas narasi dan media dapat memengaruhi prioritas isu di mata publik. Israel dan Iran berusaha untuk menguasai media agar narasi dan nilai-nilai yang mereka kemas menjadi fokus perhatian dan perbincangan di tingkat publik global.
Dampak dari komunikasi politik ini dapat dirasakan secara nyata. Masyarakat di setiap negara telah menyerap narasi yang dibentuk oleh pemerintah dan media, sehingga rasa solidaritas dan patriotisme semakin tumbuh. Secara luar, cerita yang disebarkan juga dimanfaatkan untuk mempengaruhi pandangan negara-negara lain serta untuk mendapatkan dukungan diplomatik dan bantuan militer.
Namun, komunikasi politik juga membawa potensi risiko, cara penyampaian yang terlalu menekan dapat membuat masyarakat dan negara lain terjebak dalam polarisasi cerita, bahkan dapat meningkatkan ketegangan konflik yang sulit dikendalikan. Dalam hal ini, komunikasi tidak hanya tentang penyampaian informasi, tetapi juga tentang mempengaruhi cara berpikir, membangkitkan emosi bersama, dan mendorong mobilisasi sosial.
Perang informasi juga dapat berfungsi sebagai alat legitimasi bagi setiap pihak yang terlibat. Israel menggunakannya untuk mengklaim bahwa tindakan militernya adalah bentuk perlindungan dari ancaman Iran, sementara Iran menggunakannya untuk menunjukkan bahwa tindakannya adalah bentuk perjuangan sah dari sebuah negara yang terjajah atau yang terancam kedaulatannya.
Dari perspektif komunikasi politik internasional, konflik Iran–Israel menunjukkan bahwa teknologi digital telah menghilangkan batasan jarak dan memungkinkan komunikasi politik menjangkau berbagai segmen masyarakat dengan cepat dan efektif. Kini, bukan hanya para politisi dan pejabat tinggi yang bisa mempengaruhi narasi, tetapi juga orang biasa, influencer, dan media alternatif.
Konflik ini juga mengajarkan bahwa komunikasi politik dapat menjadi faktor penting dalam memperbesar atau meredakan pertempuran. Narasi yang disampaikan dapat mengangkat solidaritas dan legitimasi dari pihak-pihak yang terlibat, tetapi juga bisa menimbulkan perpecahan, membakar semangat untuk berperang, atau bahkan mengancam perdamaian di tingkat global.
Pada akhirnya, komunikasi politik dalam konteks perang Iran–Israel tidak hanya berfokus pada siapa yang menang atau kalah, tetapi juga pada siapa yang mampu mengendalikan narasi, mempengaruhi pandangan dunia, dan menempatkan diri sebagai pihak yang mendapatkan simpati dari komunitas internasional. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi politik telah menjadi alat krusial dalam persaingan politik global di era digital, di mana narasi dan simbol telah menjadi medan pertempuran tersendiri yang dapat memberikan dampak jangka panjang bagi stabilitas regional dan perdamaian dunia.