Harga Beras Naik, Pemerintah Gagal Menjaga Perut Rakyat

Daerah, Opini62 Dilihat
banner 468x60

oleh : Muhammad Iskandar (Pemerhati Pangan dan Desa)

Tintaindonesia.id, Opini – Setiap hari rakyat kecil bergelut dengan kenyataan pahit: makan makin mahal, isi piring makin sedikit. Di warung, di pasar, di dapur . semua bicara satu hal yang sama, harga beras terus naik. Namun ironi muncul ketika pemerintah justru mengumumkan bahwa stok beras nasional mencapai 4 juta ton per Mei 2025 , angka yang disebut tertinggi sejak 1969.

banner 336x280

Pertanyaannya sederhana, jika beras melimpah, mengapa rakyat tetap kelaparan?

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), harga rata-rata beras kualitas medium secara nasional pada Mei 2025 mencapai Rp15.650/kg, naik hampir 20% dibanding periode yang sama tahun lalu. Bahkan di sejumlah daerah, harga tembus Rp17.000/kg.

Sementara itu, data dari Perum Bulog menyatakan stok beras nasional per 31 Mei 2025 mencapai 4,02 juta ton, terdiri dari cadangan beras pemerintah (CBP) dan stok komersial. Namun hingga pertengahan Juni 2025, realisasi operasi pasar (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan/SPHP) baru menyentuh sekitar 1,1 juta ton, artinya sekitar 70% stok belum mengalir ke pasar.

Masalahnya bukan pada jumlah beras, tapi pada ketidakmampuan negara menyalurkannya secara adil dan cepat. Distribusi tersendat, dan Bulog kehilangan daya dobrak. Di lapangan, para pedagang dan spekulan memainkan harga sesuka hati, tanpa pengawasan ketat.

Rakyat menderita karena harga tinggi. Petani tetap tertekan oleh harga gabah rendah, yang menurut data Kementerian Pertanian, rata-rata hanya Rp5.800–6.000/kg, jauh dari harga eceran yang diterima konsumen. Di tengah harga beras yang melonjak, petani tak ikut sejahtera, konsumen makin tercekik. Lalu siapa yang diuntungkan?

Klaim “stok tertinggi sejak 1969” terdengar megah. Tapi di mana transparansi datanya? Tidak ada platform publik yang bisa diakses masyarakat untuk melihat sebaran cadangan per wilayah, target distribusi, hingga efektivitas operasi pasar. Semua hanya berhenti di narasi media.

Tanpa distribusi yang merata dan tanpa kontrol pasar, angka surplus hanya menjadi pajangan statistik. Ia tidak menyentuh meja makan rakyat. Bahkan bisa menjadi kedok untuk menutupi kegagalan kebijakan pangan nasional secara struktural.

Ketahanan pangan bukan diukur dari seberapa banyak stok di gudang, tetapi dari seberapa murah dan mudah rakyat mendapatkan beras di pasar. Pemerintah harus berhenti bersembunyi di balik data. Yang dibutuhkan rakyat adalah solusi nyata, bukan angka.

Jika negara tidak mampu menurunkan harga beras di saat stok berlimpah, maka itu adalah tanda paling terang bahwa pemerintah gagal menjalankan peran paling dasar: menjaga perut rakyatnya sendiri.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *