Oleh : Rudy Gani, Wasekjen MN KAHMI
Tintaindonesia.id, Opini – Seminggu setelah bangsa ini merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-80, Indonesia kembali mengalami ujian. Kali ini, ujiannya bukan virus Covid-19. Tetapi lebih dahsyat daripada itu.
Mengapa dikatakan dahsyat? sebab, ujian ini jika tidak segera dituntaskan, bisa meretakkan rumah Indonesia yang 80 tahun ini kita jaga bersama-sama.
Perang saudara sebagaimana pernah tercipta di beberapa negara, hampir saja terjadi di negara kita. Seandainya kemarin Presiden Prabowo “ngotot” untuk menyelesaikan berbagai aksi demonstrasi dengan cara menerapkan “darurat militer”, tak terbayang berapa banyak korban sipil yang jatuh akibat penerapan kebijakan tersebut alias perang saudara.
Untungnya, Presiden tidak menerapkan itu. Langkah-langkah non militer dijadikan pendekatan yang sangat efektif. Meskipun di berbagai media, Presiden dengan tegas menginstruksikan Kapolri dan Panglima TNI menindak tegas aksi massa yang brutal.
Baca : Duta Pendidikan Muda Banten Gelar Advokasi Pendidikan Anti-Bullying di TBM Capung Kertas
Narasi Presiden berhasil membuat “ciut” kelompok mafia yang dikatakan Presiden sebagai kelompok teroris dan makar.
MAFIA MEMBONCENG ISU
Setiap negara di dunia ini tentu saja memiliki dinamika dan tantangan domestik masing-masing. Ada yang berhasil meredam, adapula yang terpecah-pecah seperti yang menimpa Uni Soviet di masa silam.
Sudah sejak lama Indonesia diramalkan menjadi negara gagal yang akan bubar sebagai sebuah bangsa.
Tentu saja teori ini tidak akan pernah bisa menjadi nyata selama keutuhan bangsa ini dijaga oleh kedua pilar yaitu rakyat dan militer.
Mengapa kedua pilar ini harus bersama. Karena tanpa adanya kolaborasi kedua pilar ini, maka Indonesia yang terpecah belah jadi kenyataan.
Keutuhan selamanya terjaga apabila ketiga faktor dipelihara serta dijaga, yaitu ideologi, kesejahteraan rakyat serta keadilan yang dibarengi dengan keamanan untuk warga sipil oleh militer.
Faktor ideologi selain ideologi Pancasila harus ditertibkan. Sebab, tidak ada ideologi lain selain Pancasila yang harus dipedomani di negara ini.
Kedua, faktor kesejahteraan alias rakyat yang “lapar” adalah pemicu jika tidak diperjuangkan sungguh-sungguh oleh pemerintah.
Faktor yang menjadi bahan bakar aksi demo kemarin adalah ramainya “pejabat flexing” sebagaimana yang sering kita lihat di media sosial akhir-akhir ini.
Ditengah kesulitan ekonomi dan lapangan kerja yang sempit, pejabat malah “pamer” harta dan privilige yang ia peroleh dari negara untuk diri dan keluarganya.
Efisiensi serta Kesederhanaan yang digaungkan Presiden pun dipertanyakan. Empati pada rakyat masih jauh panggang dari api. Hanya sampai di “mulut” belum bersatu dengan tindakan nyata para pejabat.
Akibatnya demonstrasi makin membesar dan terus membakar akibat tidak “peka” nya pejabat atas kondisi kesejahteraan rakyat.
Terakhir, faktor keadilan harus dikonkretkan Presiden. Hukum tidak boleh “tajam kebawah, tumpul keatas” sebagaimana yang sering kita dengar.
Keadilan untuk memperoleh perlindungan hukum, keadilan untuk mendapat hidup yang layak, keadilan untuk berusaha dan berbisnis, menjadi PR besar pemerintahan Prabowo.
Monopoli dalam ekonomi yang diistilahkan oleh Presiden sebagai “serakahnomics”, jangan bertumbuh subur justru dilingkaran Istana itu sendiri.
Sebab, sebagaimana Lord Acton katakan, bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Maka, perlu ketegasan dan kesungguhan Presiden untuk adil sejak dari pikiran dan lingkaran Istana.
Republik yang kokoh menjadi nyata apabila presiden segera melakukan konsolidasi yang sempat tertunda.
Baca juga : LSMP Ultimatum DPRD Kota Tangerang: Jangan Abai, Segera Evaluasi Tunjangan Perumahan & Transportasi
Bersih-bersih kaki tangan “mafia” yang nempel disekitaran presiden, kini mendapatkan momentumnya.
Presiden bersama rakyat dan rakyat bersama presiden adalah narasi yang bukan lagi “omon-omon”. Sebab, hal itu terbukti dari kondusifnya situasi nasional meskipun kemarin selama dua hari kondisinya begitu mencekam.
Itu artinya, rakyat dan militer bersama Presiden Prabowo. Dan sebagaimana harapan presiden untuk percaya pada pemerintah, maka rakyat sudah memberikan “sekali lagi” tiket kepercayaan itu kepada Presiden.
Tinggal bagaimana Presiden Prabowo menindak tegas “mafia” yang sekarang ini menjadi bunglon dan bergentayangan di lingkaran Istana untuk menjadi “anak buah” yang patuh setelah gagalnya kudeta kemarin.
Rakyat dan militer bersama Presiden. Sikat habis “mafia” dan jangan lagi beri ruang untuk menumbuhkan mafia-mafia baru lainnya.