Nyawa yang Murah di Negeri Bernama Tanah Air

Opini37 Dilihat

Tintaindonesia.id, Opini — Affan Kurniawan (21) barangkali hanya ingin mengantarkan makanan. Tak pernah ia kira malam itu menjadi orderan terakhirnya. Tubuh mudanya remuk dilindas mobil baja, sekeras besi yang tak mengenal empati.

Sumari (60) tak tahu tidurnya di atas becak di Pasar Gede Solo menjadi tidur paling panjang. Lelaki renta asal Pacitan itu mungkin hanya lelah, menyerah sejenak dari kerasnya hidup. Namun siapa sangka, gas yang menyapu udara malam ikut merenggut napas terakhirnya.

Di Makassar, Abay dan Sarina, dua anak muda yang memilih menjadi pegawai negeri, tak pernah menduga gedung tempat mereka bekerja menjadi api neraka. Mereka hangus bersama mimpi, bersama bangunan yang berubah jadi puing. Saiful Akbar pun menyusul, namanya masuk dalam daftar panjang korban yang tak pernah meminta kematian sesegera itu.

Lalu ada Rusmadiansyah (26), tubuhnya menjadi sasaran amarah sekelompok orang misterius. Entah siapa, entah kenapa. Yang jelas, darahnya tumpah di jalan, tertulis sebagai berita singkat, padahal ia adalah anak dari seorang ibu, mungkin kakak dari adik-adik yang menunggunya pulang.

Baca : Diterima Ketua DPRD, Kapolda, dan Danrem: Aksi Demonstrasi PKC PMII Banten Berjalan Kondusif

Dan Rheza Sendy Pratama, mahasiswa yang pulang dari demonstrasi bukan dengan cerita perjuangan, melainkan dengan tubuh yang dingin. Namanya kini hanya disebut di lorong-lorong rumah sakit, bukan lagi di ruang kelas.

Mereka semua bukan siapa-siapa di panggung kekuasaan. Nama mereka tak tercetak di undangan kenegaraan, tak dipanggil presiden untuk menerima tanda jasa, tak masuk headline kecuali sebagai berita duka. Mereka hanyalah rakyat kecil, yang bahkan tak tahu isi naskah kebijakan, yang asing dengan teori Karl Marx, yang berpendapat bahwa konflik sosial timbul dari ketimpangan kelas dan pertentangan kepentingan ekonomi antara kelas penguasa dan kelas yang dikuasai. Atau bahkan teori konspirasi ala pengamat politik lainnya. Dan mungkin tak peduli dengan skema konspirasi politik. Yang mereka tahu hanya satu: hidup itu sulit, jadi harus terus bekerja.

Affan bekerja malam-malam demi rating pelanggan. Sumari tetap mangkal meski usia renta. Abay, Sarina, dan Saiful lembur demi tanggung jawab. Rusmadiansyah dan Rheza mungkin hanya ingin bersuara, menyampaikan keresahan yang sederhana. Dan kini, semuanya terhenti.

Dalam hitungan hari, nyawa-nyawa itu terkubur. Bersama mereka, terkubur pula tawa keluarga, harapan anak-anak, dan doa-doa yang tak sempat dijawab. Betapa murahnya nyawa di negeri ini. Semurah angka statistik, semurah narasi resmi yang dingin tanpa air mata.

Sementara itu, halte terbakar, gedung DPRD hangus. Andai begini keadaannya, saya makin teringat pada ucapan Ahmad Sahroni, seorang politikus NasDem, yang pernah menyebut rakyat dengan diksi “tolol”.

Barangkali memang begitu nasib kami dipaksa tampil sebagai orang “tolol” di panggung pertunjukan yang bahkan kami tak tahu skenarionya.

Saya pun, sebagai bagian dari rakyat, sering merasa diri ini begitu “tolol” bukan karena bodoh, melainkan karena bingung membaca situasi yang kian keruh. Alih-alih suara keresahan kami didengar, justru telinga ini dijejali teori cocokologi: tentang pusaran politik, tarik-menarik kuasa, geng Solo atau Hambalang, bahkan gosip politik yang merembes hingga ke pos ronda kampung.

Sekonyong-konyong, rakyat jelata pun dipaksa jadi pengamat politik dadakan.
Namun bagi saya, geng Solo atau Wonogiri, Hambalang atau Jonggol, semuanya hanyalah nama belaka. Yang penting bukanlah kubu siapa melawan siapa, melainkan nurani itu sendiri. Andai semua pihak kembali pada satu kalimat sederhana dari penyair WS. Rendra “Bahwa Nurani ialah hakim adil” niscaya tak akan ada situasi seperti yang kini kita saksikan.

Baca juga : Tunjangan Fantastis DPRD Kota Tangerang: Rakyat Susah, Dewan Berpesta Perwali

Kita diminta cooling down. Kita diminta jaga warga. Dan memang, rakyat siap menjaga rakyat. Tapi siapa yang menjaga kami dari kekuasaan yang abai? Siapa yang menjaga kami dari aparat yang kehilangan kendali? Siapa yang menjaga kami dari politikus yang hanya pandai bicara?

Gus Dur pernah berkata, “Ada yang lebih penting dari politik, yakni kemanusiaan.” Kini kita melihat, kemanusiaan itu terkoyak. Negeri yang katanya penuh tata krama dan nilai adi luhur, kini hanya menyisakan wajah garang.

Dalam beberapa hari terakhir, bangsa ini kehilangan senyum. Senyum itu terbakar bersama gedung, pudar bersama gas air mata, hancur bersama tubuh-tubuh yang terbujur.

Dan kita, rakyat kecil, hanya bisa mengirim doa, sambil bertanya lirih: apakah nyawa kami benar-benar semurah ini?

Ahmadi, S.Sos
Rakyat yang Tolol

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *