Pengibaran Bendera One Piece: Kritik Gaya Baru di Era Digital

Opini324 Dilihat
banner 468x60

Oleh : Endang Suhendar (Pengurus HMI Jabodetabeka – Banten)

Tintaindonesia.id, Opini — Fenomena pengibaran bendera One Piece di ruang publik atau dalam acara tertentu, yang pada dasarnya merupakan simbol fiksi dari dunia manga dan anime Jepang, ternyata memunculkan berbagai interpretasi sosial dan politik di era digital. Bendera yang identik dengan simbol bajak laut ini, ketika dibentangkan di tengah momen tertentu, tidak hanya menjadi ekspresi penggemar, tetapi juga bisa menjadi bentuk komunikasi simbolik yang sarat makna.

banner 336x280

Di tengah perkembangan teknologi dan media sosial, simbol-simbol pop culture seperti bendera One Piece menjadi jauh lebih kuat daya sebar dan daya interpretasinya. Apa yang dulu hanya menjadi bagian dari komunitas kecil penggemar anime, kini bisa menjadi fenomena viral dengan cepat karena peran media digital.

Pengibaran bendera ini bisa dipandang sebagai bagian dari symbolic politics, di mana suatu simbol digunakan untuk menyampaikan pesan atau kritik, meskipun pesan tersebut tidak diutarakan secara langsung. Dalam teori komunikasi politik, simbol berperan penting dalam membangun makna yang bisa dimaknai berbeda oleh setiap kelompok audiens.

Konteks digital membuat simbol seperti ini mudah direproduksi dan disebarluaskan. Seseorang yang mengibarkan bendera One Piece di acara politik atau sosial, misalnya, mungkin bermaksud untuk menghadirkan unsur humor, sindiran, atau bahkan protes terhadap situasi yang sedang berlangsung.

Teori encoding/decoding dari Stuart Hall relevan untuk memahami fenomena ini. Pihak yang mengibarkan bendera melakukan encoding makna tertentu, sementara publik melakukan decoding dengan interpretasi yang bisa sama sekali berbeda. Ada yang melihatnya sekadar hiburan, ada pula yang memaknainya sebagai perlawanan terhadap sistem.

Baca : Narasi Kekuasaan di Era Digital: Analisis Isu Ijazah Palsu Jokowi dan Pergulatan Makna di Media Sosial

Media sosial memperkuat proses interpretasi ini dengan logika algorithmic amplification. Konten yang unik, lucu, atau kontroversial cenderung cepat naik ke permukaan di platform seperti Twitter/X, TikTok, atau Instagram. Begitu bendera One Piece muncul di momen publik, foto atau videonya bisa menjadi trending hanya dalam hitungan jam.

Dari perspektif komunikasi politik, fenomena ini menunjukkan bahwa arena politik modern tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh simbol-simbol formal seperti bendera negara atau lambang partai. Simbol non-formal dari budaya populer dapat menyusup dan mengambil alih panggung perhatian publik.

Hal ini juga sejalan dengan konsep mediatization of politics, di mana logika media mulai membentuk cara politik dipersepsikan dan dijalankan. Ketika simbol pop culture mendapatkan porsi pemberitaan yang besar, pesan politik konvensional bisa saja tergeser.

Pengibaran bendera One Piece di era digital juga menjadi contoh bagaimana participatory culture berperan. Publik tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktif memproduksi, membagikan, dan menafsirkan konten tersebut sesuai dengan narasi mereka sendiri.

Dalam sudut pandang teknologi komunikasi, kecepatan distribusi pesan visual saat ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan jaringan internet dan media berbasis gambar/video. Sebuah aksi sederhana di dunia nyata bisa menjadi meme global dalam waktu singkat.

Jika ditarik ke ranah kritik sosial, simbol bendera bajak laut dapat diasosiasikan dengan perlawanan terhadap ketidakadilan atau “pembajakan” kekuasaan. Meski awalnya hanya fiksi, ia memiliki kekuatan naratif yang dapat dimanfaatkan untuk mengkritik situasi nyata.

Politisi atau aktivis yang memahami kekuatan simbol ini dapat menggunakannya untuk membangun kedekatan dengan publik, terutama generasi muda yang akrab dengan budaya populer Jepang. Hal ini menunjukkan pergeseran strategi komunikasi politik yang lebih kreatif dan visual.

Baca juga : Permanent Campaigning: Strategi Politik Era Digital di Indonesia

Namun, simbol yang sama juga bisa menjadi bumerang. Publik yang tidak memahami konteks atau merasa simbol tersebut tidak pantas digunakan dalam situasi tertentu dapat menilainya negatif. Inilah yang membuat komunikasi simbolik bersifat high risk-high reward.

Dari sisi kajian budaya, penggunaan bendera One Piece dalam arena publik menunjukkan bahwa batas antara dunia nyata dan fiksi semakin kabur di era digital. Simbol fiksi bisa menjadi bahasa bersama dalam mengomentari realitas politik.

Media sosial juga menjadi arena diskursif di mana simbol ini diperdebatkan. Sebagian menganggapnya sekadar hiburan dan kreativitas, sementara yang lain melihatnya sebagai tanda kurangnya keseriusan dalam konteks formal.

Teori framing juga relevan di sini. Media dapat membingkai peristiwa pengibaran bendera One Piece sebagai momen lucu, aksi kreatif, atau bahkan tindakan yang mengandung kritik sosial, tergantung pada sudut pandang yang ingin diangkat.

Bagi sebagian pihak, pengibaran bendera ini adalah bentuk kebebasan berekspresi yang sah di era demokrasi digital. Namun, bagi yang lain, ia dapat dianggap merusak kesakralan atau tata tertib acara formal.

Di masa depan, kita mungkin akan melihat semakin banyak simbol pop culture digunakan dalam aksi publik, baik untuk tujuan hiburan maupun pesan politik. Perkembangan teknologi dan media sosial akan terus mempercepat tren ini.

Fenomena ini mengingatkan bahwa di era digital, komunikasi politik tidak lagi sekadar soal pidato, poster, atau baliho. Simbol visual yang sederhana namun kuat, bahkan yang berasal dari dunia fiksi, bisa menjadi alat komunikasi yang efektif dan membentuk opini publik.

Pada akhirnya, pengibaran bendera One Piece di era digital adalah contoh nyata bagaimana budaya populer, teknologi komunikasi, dan politik bertemu dalam satu ruang wacana. Ia menunjukkan bahwa kritik sosial dan politik kini bisa hadir dengan wajah yang lebih kreatif, tidak terduga, dan sering kali memicu perdebatan yang luas di media sosial.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar