Penulis: Winda Sari – Aktivis Perempuan, Pengurus Kohati Badko Jabodetabeka-Banten
Tintaindonesia.id, Opini — Kasus tragis yang terjadi di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, ini kembali membuka mata kita bahwa kekerasan terhadap anak, apalagi yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri, adalah bentuk pengkhianatan terbesar terhadap amanah yang diberikan Tuhan.
Seorang anak laki-laki berusia empat tahun menghembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan menuju RS IMC Bintaro pada 25 Juli 2025, akibat tindakan penganiayaan berulang yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Berdasarkan keterangan kepolisian, korban telah mengalami kekerasan fisik setidaknya enam kali sejak 13 Juni hingga 25 Juli 2025. Peristiwa yang merenggut nyawa korban bermula dari cekcok antara anak dan ibunya, yang kemudian memicu kemarahan ayahnya hingga keduanya melakukan kekerasan secara sadar.
Dari sisi kemanusiaan, peristiwa ini bukan hanya tragedi bagi korban, tetapi juga pukulan bagi nurani masyarakat. Kita harus berani mengakui bahwa kekerasan terhadap anak sering kali terjadi di ruang-ruang tertutup, tidak terlihat oleh lingkungan sekitar, hingga akhirnya terlambat diselamatkan.
Dari perspektif hukum, kasus ini jelas merupakan tindak pidana berat. KUHP dan UU Perlindungan Anak telah mengatur sanksi tegas bagi pelaku penganiayaan, terlebih jika mengakibatkan kematian. Tidak ada alasan pembenaran, termasuk faktor emosi sesaat, untuk menghapus pertanggungjawaban pidana. Hukuman maksimal, bahkan ancaman pidana seumur hidup atau mati, patut dipertimbangkan untuk memberikan efek jera.
Baca : Pelecehan Seksual: Darurat Nasional yang Terus Mengintai Perempuan dan Anak
Namun hukuman saja tidak cukup. Negara, melalui aparat, lembaga perlindungan anak, dan masyarakat harus membangun sistem deteksi dini terhadap kekerasan domestik. Edukasi pola asuh positif, mekanisme pelaporan yang aman, dan keberanian warga sekitar untuk melapor ketika mencium adanya tanda-tanda kekerasan adalah kunci pencegahan.
Sebagai aktivis perempuan, saya melihat kasus ini bukan hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga kegagalan sistem perlindungan anak di tingkat keluarga, masyarakat, dan negara. Anak-anak adalah kelompok rentan yang harus mendapatkan perhatian ekstra. Ketika orang tua menjadi pelaku, maka peran lingkungan sekitar menjadi sangat vital untuk mendeteksi dan mencegah kekerasan sejak dini. Sikap diam atau menganggap urusan rumah tangga sebagai “ranah pribadi” adalah bentuk pembiaran yang mematikan.
Baca juga : Perempuan Bukan Alat Damai: Luka di Balik Pernikahan Paksa Pasca-Pelecehan
Seorang anak tidak bisa memilih kepada siapa ia dilahirkan. Tapi kita, sebagai masyarakat, bisa memilih untuk tidak menutup mata. Diam adalah bentuk pembiaran, dan pembiaran berarti ikut menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri.