Oleh : Mohamad Eddy Sopyan – Wabendum PTKP PB HMI
Tintaindonesia.id, Opini — Setiap tanggal 23 Juli, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) memperingati hari lahirnya. Tahun ini, KNPI menginjak usia ke-52. Usia yang tidak lagi muda, tapi juga belum terlalu tua untuk menyerah dari panggung sejarah. Momentum ini seharusnya menjadi ruang reflektif, bukan sekadar seremonial, bagi pemuda Indonesia—khususnya mereka yang tergabung dalam berbagai organisasi kepemudaan—untuk bertanya ulang: apa arti “pemuda” hari ini? Apakah kita masih menjadi bagian dari solusi, atau justru menjadi bagian dari masalah?
Sejak berdirinya, KNPI didirikan sebagai wadah persatuan dan artikulasi kepentingan pemuda lintas organisasi. Ia lahir dari semangat untuk mengonsolidasikan potensi besar pemuda dalam pembangunan bangsa. Namun, dalam perjalanannya, tantangan demi tantangan datang silih berganti: mulai dari politisasi organisasi, fragmentasi internal, hingga melemahnya daya kritis karena kooptasi kekuasaan. Di luar itu, perubahan zaman dan perkembangan teknologi informasi juga membentuk karakter baru generasi muda hari ini—sebuah karakter yang jika tidak dikawal dengan kesadaran politik dan sosial, akan lebih mudah tenggelam dalam gelombang reaktif dan emosional ketimbang reflektif dan solutif.
Pemuda sebagai Pilar Perubahan
Sejarah bangsa ini selalu mencatat pemuda sebagai ujung tombak perubahan. Tanpa mereka, tidak akan ada Sumpah Pemuda 1928, tidak akan ada reformasi 1998. Bahkan dalam skala lokal, banyak gerakan inisiatif warga, advokasi lingkungan, serta inovasi sosial dan teknologi yang digagas dan digerakkan oleh anak-anak muda. Ini menegaskan bahwa pemuda bukan sekadar harapan masa depan, tetapi juga kekuatan masa kini.
Baca : Permanent Campaigning: Strategi Politik Era Digital di Indonesia
Namun, pertanyaan penting yang harus terus diajukan hari ini adalah: apakah peran pemuda tetap aktif dan substantif, atau mulai bergeser menjadi simbolik dan superfisial? Dalam era media sosial yang serba cepat dan serba tampil, banyak pemuda lebih memilih menjadi influencer daripada aktor perubahan. Suara keras di Twitter belum tentu berbanding lurus dengan tindakan nyata di lapangan. Kritik mudah dilontarkan, tetapi keberanian untuk menawarkan solusi kerap absen. Di sinilah letak persoalannya: ketika identitas kepemudaan hanya berhenti pada ekspresi, bukan kontribusi.
Dari Berperan ke Baperan
Fenomena yang cukup mengkhawatirkan di kalangan anak muda hari ini adalah mudahnya tersinggung oleh kritik, bahkan terhadap perbedaan pendapat yang sehat. Ruang diskusi sering kali berubah menjadi ajang saling serang, bukan saling tukar pikiran. Cancel culture menjadi alat represi sosial yang digunakan bahkan oleh mereka yang mengaku cinta demokrasi. Kritik dianggap serangan personal, bukan bagian dari dialektika pemikiran.
Inilah yang disebut sebagai mentalitas “baperan”—bawa perasaan. Mental yang labil, tidak tahan banting, dan lebih sibuk membela ego daripada memperjuangkan gagasan. Jika ini dibiarkan, maka kekuatan pemuda akan terkikis oleh sensitivitas yang keliru. Padahal, sejarah membuktikan bahwa perubahan besar hanya bisa dicapai oleh mereka yang tahan diuji oleh kritik, tekanan, dan konflik ide.
Sebaliknya, “berperan” berarti berani mengambil tanggung jawab. Berperan artinya hadir di tengah masyarakat, mengorganisir perubahan, menyuarakan suara yang tak terdengar, dan menjadi jembatan antara idealisme dan realitas. Pemuda yang berperan tidak hanya aktif di media sosial, tetapi juga konsisten di dunia nyata. Mereka membaca persoalan, merumuskan solusi, dan membangun jejaring kolaboratif. Mereka tidak mudah puas dengan popularitas, karena yang mereka cari adalah perubahan sistemik.
Membongkar Zona Nyaman Organisasi Pemuda
KNPI dan organisasi kepemudaan lainnya juga tidak boleh nyaman dalam posisi simbolik belaka. Jangan sampai organisasi-organisasi ini hanya menjadi papan nama yang hidup setiap kali ada program pemerintah, tapi mati ketika rakyat butuh suara keberpihakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa organisasi pemuda hari ini mengalami degradasi fungsi: lebih sibuk menjaga kedekatan politik daripada merawat keberanian moral.
Refleksi usia 52 tahun KNPI adalah kesempatan emas untuk keluar dari zona nyaman itu. Menjadi pemuda berarti menjadi gelisah, tidak puas pada keadaan yang stagnan. KNPI harus bisa menjadi ruang pembibitan kader pemimpin masa depan yang punya nyali, bukan hanya loyalitas. Yang bisa berpikir taktis sekaligus etis. Yang tidak hanya jago pidato, tapi juga piawai bekerja.
Menuju Peran Pemuda yang Relevan
Pemuda hari ini menghadapi tantangan yang kompleks: krisis iklim, ketimpangan ekonomi, konflik identitas, dan digitalisasi yang bergerak lebih cepat daripada regulasi. Untuk menjawab tantangan ini, pemuda tidak cukup hanya dengan semangat, tetapi juga butuh pengetahuan, keterampilan, dan mentalitas adaptif.
Baca juga : Lindungi Anak, Tegakkan Hukum: Kekerasan Seksual oleh Wali adalah Kejahatan Berat
Artinya, pendidikan politik harus dikembangkan, literasi digital harus diperkuat, dan ruang kolaborasi lintas sektor harus dibuka seluas-luasnya. Pemuda tidak bisa bergerak sendiri, tapi juga tidak boleh hanya menunggu. Perubahan bukan sesuatu yang datang, tapi sesuatu yang diusahakan. Dan itu hanya mungkin jika kita, sebagai pemuda, siap berperan, bukan baperan.
Penutup: Dari Seremoni ke Aksi Nyata
Perayaan HUT KNPI ke-52 seharusnya bukan hanya ajang foto bersama, pidato panjang, dan baliho besar. Ia harus menjadi titik tolak untuk mengevaluasi ulang orientasi gerakan pemuda Indonesia. Sudah saatnya pemuda memutus ketergantungan pada kekuasaan dan mulai merancang kekuatan dari akar rumput. Sudah waktunya kita berhenti menjadi generasi yang hanya reaktif dan mulai menjadi generasi yang strategis.
Pemuda harus menjadi pelaku sejarah, bukan sekadar pembaca berita. Bangsa ini tidak butuh pemuda yang mudah tersinggung, tapi pemuda yang mudah terpanggil untuk bertindak. Maka, mari kita jadikan ulang tahun KNPI ini bukan hanya soal usia, tapi juga soal arah. Soal sikap. Soal peran. Dan soal pilihan untuk menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar generasi yang baperan di era yang menuntut ketegasan.