Oleh: Endi Biaro, Peneliti Senior LSDP (Lembaga Studi Demokrasi dan Pemilu)
Tintaindonesia.id, Opini — Pasca keluarnya putusan MK Nomor 135/PUU-XIX/2024 lahir ragam respon. MK mengeluarkan putusan melampaui kewenangan, atau ultra petita. Putusan MK inkonstitusional. MK mengeluarkan norma baru, padahal fungsinya adalah negative legislator. MK terlau memasuki aspek teknis dan detil (open legal policy), yang mestinya cukup dirumuskan oleh pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR). Ada juga pihak yang menyebut MK inkonsisten (berubah-ubah putusan). Interogasi kritis ini wajar belaka.
Namun tentu harus ada penelusuran serius, menghadirkan wacana tanding, agar percakapan publik terkait putusan MK crystal clear, tak menyeret kepada penyesatan informasi (misleading).
Artikel ringkas ini membeber sejumlah fakta dan analisis, dengan titik tekan pada aspek historisitas, argumentasi hukum, dan aspek original intent dari keluarnya putusan heboh itu.
Historisitas
Trajektori perjuangan melahirkan Putusan MK tentang Pemilu Nasional dan Lokal telah melalui pacu jalur yang panjang. Berbagai pihak, mengeluarkan rekomendasi, kajian, evaluasi, dan tentu saja menyampaikan permohonan uji materi (judicial review) ke MK. Lontaran aspirasi ini tak lahir mendadak, melainkan sudah berlangsung belasan tahun.
Penuturan Syamsudin Haris dan Didik Supriyanto, keduanya adalah pakar kepemiluan dan menjadi Saksi ahli di persidangan MK, atas permohonan Perludem (kemudian menjadi Putusan MK Nomor 135/ PUU-XIX/2024, tetang Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal), adalah bagain dari bukti jalan panjang menuju Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal.
Didik Surpriyato, dalam diskusi Perludem yang ditayangkan di Youtube Perludem (18 Juli 2025), mengaku bahwa usulan Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal telah disampaikan sejak tahun 2007.
Saat itu, masalah ini kerap menjadi bahan diskusi Pansus RUU Pemilu DPR RI. Ide yang mengemuka adalah pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, untuk masuk dalam pembahasan UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. Basis pertimbangan adalah: tingkat suara tidak sah yang melonjak tinggi. Dari semula 3,3% (di Pemilu 1999) menjadi 8,8% (di Pemilu 2004), angka ini jauh di atas standar maksimum internasional yang dipatok UNDP (angka maksimum 4%).
Pakar lain, Syamsudin Haris, membuka riwayat senada. Di tahun 2015, LIPI (saat ini menjadi BRIN) membuat kajian dengan titik berat pada pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, guna menciptakan efektivitas sistem politik presidensial.
Sumber lain yang memperkuat original intent pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, adalah dokumen hukum yang bersumber dari periode dini kelahiran republik, yakni UU Nomor 1 Tahun 1957, yang berisi kaidah pentingnya meyatukan Pemilu Kepala Daerah dengan DPRD, sebagai satu kesatuan.
Dokumen hukum klasik ini disampaikan oleh Titi Anggraini, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
Perjalanan terkini dan mencapai puncak adalah permohonan uji materi oleh Perludem ke MK, yang kemudian dikabulkan sebagian.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXIX/2019 yang memerintahkan pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dengan rentang waktu minimal 2 tahun dan maksimum 2,5 tahun, adalah hasil perjuangan panjang para pakar dan pegiat kepemiluan, guna melahirkan sistem Pemilu terbaik.
Titi Anggraini menjelaskan, usulan ini tidak lahir tiba-tiba, melainkan dilakukan sejak lama. Sebelumnya, Perludem mengajukan uji materi ke MK, yang kemudian lahir Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Jelas dan tegas bahwa MK mengeluarkan judicial order (putusan yang berisi perintah kepada pembentuk Undang Undang, yakni DPR dan Pemerintah), untuk membuat aturan ulang Pemilu serentak. MK memberikan enam jenis opsi, untuk redesain Pemilu serentak, salah satunya adalah model Pemilu Nasional dan Pemilu lokal. Dengan memberikan beberapa persyaratan.
Pertama, harus dilaksanakan jauh-jauh hari, agar tersedia persiapan matang. Kedua, memudahkan pemilih, agar tak terlalu rumit dalam memahami dan praktis dalam memberikan pilihan. Ketiga, tidak memberatkan para penyelenggara, sebagai implementator pelaksanaan Pemilu. Keempat, dengan terlebih dahulu melakukan evaluasi multi aspek. Kelima, melakukan simulasi, sebagai bahan prediksi, apakah pilihan itu bisa dilaksanakan atau tidak (executeable).
Konstitusionalitas
Hingga saat ini, tercatat 156 kali permohonan uji materi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 disampaikan ke Mahkamah Konstitusi, dan 18 diantaranya dikabulkan mahkamah. Banyaknya judicial review ini bersumber dari kekecewaan dan ketidakpuasan atas penyelenggaraan Pemilu Lima Kotak (serentak) yang dilakukan di Tahun 2019 dan 2024. Terbukti dari para pemohon yang datang dari berbagai pihak, baik individu ataupun kelompok (dan memenuhi asas legal standing). Diantaranya adalah dari partai politik, politisi, penyelenggara, dan pengamat (akademisi, pakar), serta LSM pegiat kepemiluan.
Beberapa permohonan fokus pada masalah keserentakan Pemilu. Selain Perludem yang beberapa kali mengajukan uji materi, ada juga dari Badan Ad Hoc penyelenggara Pemilu (KPPS, PPK, dan PPS). Dasar permohonan (petitum) terkait dengan beratnya beban Pemilu, yang merugikan penyelenggara bahkan mengancam nyawa. Sebagai catatan, di Pemilu 2019, 826 penyelenggara wafat, dan tragedi ini Kembali terjadi di Pemilu 2024 (163 orang).
Dengan melihat fakta-fakta ini, termasuk pertimbangan lain yang berdimensi yuridis, maka MK mengabulkan permohonan soal desain Pemilu Serentak dengan dua kali pelaksanaan, yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal.
Perlu diketahui, bahwa dalam konteks Pemilu, MK bukan hanya menjadi pengawal konsititusi (the guardian of constitution), tapi juga sealigus menjadi sumber hukum kepemiluan. Meski beberapa pihak meyebut fenomena ini sebagai praktek yudisialisasi Pemilu, tetapi implikasinya adalah MK menjadi sumber reformasi hukum Pemilu.
Opini tentang putusan MK inkonsititusional yang dilontarkan beberapa kalangan, sekilas Nampak beralasan. Terlebih jika fokusnya hanya pada soal klausa Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali. Padahal senyatanya amar putusan MK disertai dengan penjelasan, yakni hal ini dilaksanakan satu kali di masa transisi (sebelum terlaksana di 2019 dan 2024). MK juga memberikan perintah agar dilakukan rekayasa konsitutusi (constitusional engineering), oleh para pembentuk undang-undang. Norma hukum terhadap periode transisi ini, bisa digodok dan disepakati bersama. Terutama dalam pembahasan revisi undang-undang Pemilu, yang saat ini tengah dipersiapkan.
Soal konstitusionalitas putusan MK, Prof Ramlan Surbakti, pakar Pemilu, menyebut tak ada pelanggaran konsititusional atas putusan MK. Dalam praktek ketatanegaraan, kerap terjadi lahirnya norma yang seolah menabrak konstitusi (seperti hukuman mati dan pencabutan hak pilih untuk TNI Polri). Di dalam Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945, ada ketentuan hak asasi manusia, tetapi hal itu tak mutlak, karena bisa diatur dalam undang-undang. Fungsinya adalah justru untuk menjaga jaminan perlindungan hak asasi. Prof Ramlan menyebut, putusan MK memenuhi asas legalitas dan memiliki tujuan yang baik. Hal ini dibuktikan dengan beberapa syarat kondisional yang diamanatkan dalam amar putusan MK.
Di sisi lain, pernah ada preseden dalam praktek tata negara di tanah air, tentang perpanjangan (atau bahkan pemotongan) masa jabatan Kepala Daerah ataupun DPRD (seperti di Pemilu 1971 sampai dengan 1977, menjadi enam tahun). Menurut Prof Jimly Ashidiqy, soal ini tak masalah, dan bukan pelanggaran konstitusi, karena bisa diatur dalam undang-undang (sumber: wawancara di Youtube LP3ES).
Konsistensi MK
Pendapat yang mengemukakan bahwa MK inkonsisten, melampaui kewenangan (ultra petita), dan mencampuri urusan teknis (open legal policy), bisa terjawab dalam narasi berikut ini.
MK bisa merevisi keputusannya sendiri, sejauh dalam pelaksaksanaan (eksekusi putusan) terbukti melahirkan banyak kendala, semisal putusan Pemilu Serentak, yang basisnya adalah putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 (pemohon Efendi Ghazali). Dasar putusan adalah dalam rangka efektivitas, serta memperkuat sistem presidensial. Dalam kenyataannya, pasca putusan itu dilaksanakan dua kali (di Pemilu 2019 dan Pemilu 2024), malah sebaliknya. Kualitas Pemilu menurun, jumlah surat suara sah tinggi, banyak korban, dan melahirkan berbagai gugatan.
Sementara soal MK memasuki ranah open legal policy (aspek detil dan teknis) yang sedianya cukup dibahas oleh Pemerintah dan DPR, hal ini terbantahkan. Mahkamah sebenarnya telah mengeluarkan putusan, yang berisi opsi redesain (penataan ulang) Pemilu Serentak, melalui Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2013. MK mengeluarkan judicial order (perintah) kepada Pemerintah dan DPR, agar melakukan pilihan atas Pemilu Serentak (ada enam opsi yang diberikan MK). Tetapi perintah ini tak pernah berhasil diwujudkan. Pun dengan masalah ultra petita (melampaui kewenangan), MK memang bisa melahirkan norma baru, tak sekedar membatalkan. Menurut Prof Jimly Ashidiqy, hal ini otomatis terjadi, karena ada makna baru dalam setiap putusan MK. Kewenangan MK adalah termasuk merevisi dan memberikan perintah baru terhadap pelaksanaan undang-undang Pemilu.