Idealisme Adalah Kemewahan Terakhir yang Dimiliki oleh Pemuda: Realitas atau Ekspektasi?

Opini213 Dilihat
banner 468x60

Oleh: MOHAMAD EDDY SOPYAN – Wabendum PTKP PB HMI

Tintaindonesia.id, Opini — “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.” Kalimat ini, yang pernah diucapkan oleh Sutan Sjahrir, seorang intelektual dan negarawan muda Indonesia pada masa revolusi mengandung makna filosofis sekaligus sosiologis yang tak lekang oleh waktu. Di tengah derasnya arus pragmatisme dan realitas hidup yang kian kompleks, kutipan ini kembali relevan untuk direnungkan: benarkah idealisme hanyalah kemewahan, sesuatu yang tidak semua orang sanggup miliki? Ataukah justru ia merupakan harapan dan pegangan terakhir yang mestinya diperjuangkan, terutama oleh generasi muda?

banner 336x280

Idealisme: Pondasi Moral Pemuda

Dalam literatur sosial dan filsafat politik, pemuda sering digambarkan sebagai agen perubahan. Mereka berada dalam fase kehidupan yang sarat semangat, bebas dari beban struktur sosial yang mapan, dan memiliki keberanian untuk membayangkan serta memperjuangkan dunia yang lebih adil. Idealisme menjadi semacam fondasi moral yang mendorong mereka untuk bertindak—bukan karena kepentingan, tetapi karena keyakinan terhadap nilai-nilai seperti kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

Dalam konteks ini, idealisme bukan sekadar sikap keras kepala atau utopia, tetapi wujud keberanian berpikir dan bertindak melampaui realitas yang ada. Tidak mengherankan jika banyak gerakan sosial, perubahan kebijakan, bahkan revolusi, berawal dari idealisme anak muda yang menolak tunduk pada status quo.

Realitas: Penggerus atau Penguji Idealisme?

Namun, idealisme sering kali diuji secara keras oleh realitas. Dunia kerja, sistem politik, tekanan ekonomi, dan tuntutan sosial tidak selalu memberikan ruang bagi sikap idealis. Kompromi menjadi hal yang tak terhindarkan. Banyak orang yang pada masa mudanya sangat lantang dalam menyuarakan perubahan, namun perlahan menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka kritik.

Fenomena ini menunjukkan sisi realitas dari kutipan Sjahrir. Ketika seseorang mulai dihadapkan pada tuntutan hidup yang konkret, penghasilan, keluarga, keamanan posisi, lidealisme tampak seperti kemewahan, bahkan beban. Dalam banyak kasus, mempertahankan idealisme justru bisa membuat seseorang terpinggirkan. Akibatnya, banyak yang memilih diam atau berkompromi, bukan karena tidak peduli, tetapi karena merasa tidak punya pilihan lain.

Namun, apakah ini berarti idealisme memang hanya milik mereka yang belum terbebani tanggung jawab? Ataukah realitas itu sendiri yang perlu dikritik ulang agar tetap memberi ruang bagi nilai dan prinsip?

Ekspektasi Sosial terhadap Pemuda

Di sisi lain, pernyataan Sjahrir juga bisa dibaca sebagai sebuah ekspektasi: bahwa selama pemuda masih memiliki idealisme, maka harapan untuk perubahan masih ada. Dalam perspektif ini, idealisme bukanlah kemewahan, melainkan tanggung jawab. Ia menjadi beban sejarah yang harus dipikul oleh generasi muda untuk memastikan bahwa nilai-nilai luhur tetap hidup dan berkembang di tengah arus pragmatisme yang sering menenggelamkan nurani.

Ekspektasi ini tidak muncul dari ruang kosong. Dalam sistem demokrasi, pemuda memegang peran penting dalam menjaga dinamika sosial-politik agar tetap sehat. Mereka bukan hanya pengganti generasi sebelumnya, tetapi penentu arah ke mana nilai dan moral masyarakat akan dibawa.

Menjaga Api Idealisme dalam Dunia yang Kompleks

Maka, jika idealisme memang sering dianggap sebagai kemewahan, barangkali karena dunia telah terlalu lama berjalan tanpa nilai. Di sinilah tugas pemuda bukan hanya mempertahankan idealisme dalam bentuknya yang murni, tetapi juga mentransformasikannya menjadi tindakan yang relevan dan berkelanjutan. Artinya, idealisme tidak selalu harus revolusioner, ia bisa hadir dalam bentuk kecil namun konsisten: kejujuran dalam bekerja, keberanian bersuara, integritas dalam keputusan, dan kepedulian terhadap sesama.

Alih-alih meredup seiring usia, idealisme seharusnya bertumbuh dari keberanian emosional menjadi kebijakan moral yang lebih dewasa. Yang penting bukan mempertahankan bentuk lamanya, melainkan semangat dasarnya.

Penutup: Dari Kemewahan Menjadi Kebutuhan

Pernyataan Sutan Sjahrir adalah refleksi yang tajam sekaligus peringatan yang halus. Ia menyoroti fakta bahwa idealisme sering hilang bukan karena lemah, tetapi karena dunia tidak cukup ramah terhadapnya. Namun dalam waktu yang sama, pernyataan itu juga mengajak kita berpikir ulang: mungkinkah dunia justru akan lebih baik jika idealisme tidak lagi dianggap sebagai kemewahan, melainkan sebagai kebutuhan?

Jika pemuda mampu melihat idealisme bukan sebagai beban atau kemewahan, tetapi sebagai amanah sejarah, maka dunia ini masih memiliki alasan untuk berharap

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *