Dilematika Dualisme HMI Cabang Tangerang – Perkaderan vs Politik Jabatan

Opini54 Dilihat

Oleh: Adriansyah Maulana Yusuf – Sekretaris Umum HMI Komisariat Unis Cabang Tangerang

Tintaindonesia,id, Opini — Di tengah dinamika kebangsaan yang semakin kompleks, organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diharapkan tetap menjadi pilar utama dalam mencetak kader-kader intelektual, progresif, dan berintegritas. Namun, apa jadinya jika organisasi ini justru diguncang oleh konflik internal yang berkepanjangan, yang bahkan mengancam eksistensi nilai-nilai dasar yang telah diwariskan para pendirinya?

Fenomena dualisme yang tengah terjadi di HMI Cabang Tangerang bukan sekadar persoalan administratif atau prosedural. Ini adalah cerminan dari sebuah dilema besar yang kian nyata: tarik-menarik antara semangat perkaderan dan nafsu politik jabatan. Pertanyaannya: ke mana arah HMI akan dibawa?

Perkaderan yang Tersandera

Sebagai organisasi kader, HMI seharusnya menjadikan perkaderan sebagai poros utama geraknya. Proses perkaderan bukan hanya rutinitas formal dalam bentuk Latihan Kader (LK), melainkan medan pembentukan karakter, mentalitas perjuangan, serta kesadaran intelektual seorang kader HMI. Di sinilah tempat lahirnya pemikir-pemikir muda Islam yang kelak menjadi agen perubahan di tengah masyarakat.

Namun, apa yang terjadi di Cabang Tangerang justru memprihatinkan. Konflik internal dan dualisme kepemimpinan menjadikan proses perkaderan stagnan, bahkan terabaikan. Agenda-agenda pengkaderan yang seharusnya dilaksanakan secara periodik menjadi alat legitimasi kelompok, bukan lagi ruang pembinaan murni. Maka, lahirlah kader-kader yang bingung arah, kehilangan panutan, dan gamang terhadap masa depan organisasinya sendiri.

Politik Jabatan: Ketika Organisasi Menjadi Medan Perebutan Kekuasaan

Kita tidak bisa menutup mata bahwa di balik dualisme ini ada satu motivasi utama: perebutan kekuasaan. Politik jabatan dalam tubuh HMI kerap kali menjadi sumber perpecahan. Ketika struktur organisasi dijadikan ladang ambisi, maka pertarungan bukan lagi soal siapa yang paling mampu memimpin, tapi siapa yang paling lihai membentuk barisan.

Pemilihan Ketua Umum Cabang, penunjukan formatur, hingga posisi-posisi strategis lainnya dipenuhi intrik, lobi, dan kadang disusupi ego sektoral. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai keikhlasan dan pengabdian—yang seharusnya menjadi napas dalam ber-HMI—terdegradasi hanya menjadi slogan.

Yang lebih tragis, kader-kader muda yang seharusnya menjadi tumpuan masa depan organisasi justru dijadikan alat oleh pihak-pihak yang lebih senior demi mempertahankan pengaruh. Mereka dijejali narasi sektarian, digiring dalam faksi-faksi tertentu, dan dijauhkan dari esensi idealisme HMI.

Narasi yang Harus Ditegaskan Kembali: HMI Adalah Rumah Perjuangan

Sudah saatnya kita mengembalikan narasi besar HMI kepada jati dirinya: rumah bagi para pejuang intelektual. HMI bukan milik satu kelompok atau kubu, melainkan milik seluruh kader yang punya niat tulus untuk mengabdi kepada umat dan bangsa.

HMI Cabang Tangerang harus segera keluar dari jebakan konflik jangka panjang ini. Kedua belah pihak yang berseteru perlu menyadari bahwa keberlanjutan organisasi jauh lebih penting dari sekadar jabatan sesaat. Kembalilah ke forum musyawarah yang konstruktif, kembalilah menjadikan perkaderan sebagai instrumen utama perjuangan.

PB HMI sebagai representasi pusat harus hadir sebagai fasilitator perdamaian yang adil dan objektif. Tidak boleh ada pembiaran terhadap dualisme, karena jika dibiarkan, maka ini bukan hanya soal konflik internal, tetapi akan menjadi preseden buruk bagi cabang-cabang lain.

Penutup: Jangan Wariskan Kultur Konflik

HMI tidak didirikan untuk menjadi tempat para mahasiswa saling menjatuhkan. Ia lahir sebagai jawaban atas kebutuhan bangsa akan generasi muda Islam yang mampu berpikir kritis, bergerak dinamis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran. Jika hari ini kita gagal menjaga nilai itu, maka generasi berikutnya hanya akan mewarisi organisasi yang retak, tercerai, dan kehilangan orientasi.

Konflik bukan warisan terbaik. Mari wariskan semangat kaderisasi yang sehat, kompetisi yang jujur, serta pengabdian yang tulus. Karena itulah makna sebenarnya menjadi Insan Cita