Perempuan Bukan Alat Damai: Luka di Balik Pernikahan Paksa Pasca-Pelecehan

Opini384 Dilihat
banner 468x60

Oleh Winda Sari (Aktivis Perempuan, Pengurus Kohati BADKO Jabodetabeka-Banten)

Tintaindonesia.id, Opini — Di Negeri yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan, masih saja kita mendapati praktik-praktik tidak manusiawi yang mencederai martabat perempuan. Salah satu ironi yang terus berulang adalah pemaksaan jalan damai terhadap korban pelecehan seksual, yang lebih menyakitkan lagi, melalui pernikahan dengan pelaku. Dalam banyak kasus, korban justru harus menikah dengan pelaku atas nama “menjaga nama baik keluarga”, hanya untuk kemudian diceraikan setelah dianggap tidak lagi berguna.

banner 336x280

Baru-baru ini, kasus memilukan terjadi di Karawang, Jawa Barat, Seorang mahasiswi berusia 19 tahun diduga menjadi korban pemerkosaan oleh seorang guru ngaji. Alih-alih diproses secara hukum, kasus ini diselesaikan melalui mediasi aparat kepolisian. Korban dipaksa menikah dengan pelaku, namun ironisnya, hanya satu hari setelah pernikahan, korban langsung diceraikan. Ini bukan hanya tragedi hukum, tetapi juga tragedi kemanusiaan. Bukankah ini bentuk kekerasan berlapis yang dilegalkan oleh sistem?

Fenomena ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam melindungi korban kekerasan seksual. Di mana seharusnya negara dan masyarakat hadir sebagai pelindung, justru malah turut menjadi pelaku represi kedua. Proses “damai” ini bukanlah penyelesaian, melainkan bentuk pembungkaman terhadap hak-hak korban.Siapa yang sebenarnya diuntungkan dalam ‘damai’ semacam ini?Tentu bukan korban. Yang terjadi justru adalah legitimasi terhadap kekerasan. Pelaku terbebas dari jerat hukum, sementara korban dibebani luka berkepanjangan, stigma sosial, hingga trauma psikis yang tak mudah pulih. Menikah paksa dengan pelaku bukan bentuk pertanggungjawaban, melainkan pengabaian terhadap rasa keadilan. Pernikahan ini tidak dilandasi oleh cinta, tetapi oleh tekanan sosial dan pemakluman atas kejahatan seksual.

Lebih memilukan lagi, tak jarang setelah korban dinikahi, ia diceraikan dengan mudah. Seolah hanya digunakan sebagai alat untuk membersihkan citra pelaku atau keluarganya. Ini bukan hanya pelecehan kedua secara emosional dan sosial, tapi juga pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Apa yang salah?

Pertama, hukum masih terlalu longgar dalam menindak kasus pelecehan seksual, dan aparat penegak hukum seringkali berkompromi atas nama “keluarga” atau “musyawarah”. Kedua, budaya patriarki mengakar kuat, sehingga martabat perempuan masih ditempatkan di bawah norma sosial dan nama baik keluarga. Ketiga, masyarakat kurang literasi dan empati terhadap dampak panjang pelecehan seksual terhadap korban.

Bagaimana seharusnya?

Penyelesaian hukum harus ditegakkan, bukan dinegosiasikan. Negara wajib memastikan pelaku kekerasan seksual dihukum seadil-adilnya tanpa ruang damai di luar hukum pidana. Korban harus mendapat perlindungan, pendampingan psikologis, dan pemulihan menyeluruh. Yang paling penting, kita harus mendidik masyarakat bahwa tubuh dan martabat perempuan tidak bisa menjadi alat tukar demi reputasi atau kehormatan semu.

Hari ini, kita harus tegas mengatakan:

Perempuan bukan alat damai. Pernikahan bukan solusi pelecehan. Damai tanpa keadilan hanyalah bentuk kekerasan yang dibungkus rapi.

Sudah saatnya Negara dan masyarakat berpihak pada korban, bukan pada pelaku. Sebab keadilan sejati adalah ketika suara perempuan yang disakiti tidak lagi dibungkam oleh adat, keluarga, atau hukum yang tumpul ke atas.

Mari kita hentikan warisan budaya diam dan mulai bersuara: demi martabat, demi keadilan, demi generasi perempuan yang lebih aman.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *