Permanent Campaigning: Strategi Politik Era Digital di Indonesia

Opini, Politik14 Dilihat
banner 468x60

Oleh : Endang Suhendar
Pengamat Komunikasi Politik

Tintaindonesia.id, Opini – Dinamika politik kontemporer, istilah permanent campaigning atau kampanye permanen semakin menonjol, menggambarkan bagaimana politisi terus membangun citra dan mencari dukungan publik bahkan setelah masa pemilu berakhir. Konsep ini mengaburkan batas antara kampanye dan pemerintahan. Jika dahulu kampanye dilakukan dalam kurun waktu tertentu menjelang pemilu, kini ia menjadi bagian permanen dari strategi komunikasi politik di era digital.

banner 336x280

Perubahan ini didorong oleh kemajuan teknologi informasi, terutama melalui media sosial. Politisi masa kini memiliki akses langsung ke publik tanpa harus melalui media arus utama. Platform seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan X (Twitter) memungkinkan para tokoh politik menyampaikan pesan secara cepat, langsung, dan terukur kepada konstituen. Akibatnya, kampanye tidak lagi berhenti ketika pemilu usai, ia terus berlanjut sebagai bagian dari pencitraan dan penjagaan elektabilitas.

Permanent campaigning memiliki beberapa karakteristik penting. Pertama, komunikasi publik dilakukan secara berkelanjutan untuk mempertahankan kesan positif. Kedua, penggunaan simbol dan citra menjadi sangat penting, misalnya melalui kegiatan blusukan, kunjungan kerja, atau aksi sosial yang dipublikasikan. Ketiga, kebijakan publik sering kali dipresentasikan bukan berdasarkan dampak substansialnya, tetapi bagaimana ia akan diterima secara emosional oleh publik.

Di Indonesia, fenomena ini sangat terasa dalam gaya politik Presiden Joko Widodo. Sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo hingga menjadi Presiden RI dua periode, Jokowi mempertahankan gaya komunikasi langsung dengan rakyat. Aktivitas blusukan, video kunjungan ke pasar, dan unggahan santai di media sosial adalah bagian dari strategi membangun narasi sebagai pemimpin sederhana dan merakyat. Bahkan setelah tidak lagi mencalonkan diri, Jokowi tetap aktif menjaga citra dan pengaruh politiknya.

Yang menarik, strategi kampanye permanen ini tidak hanya menjaga popularitas pribadi, tetapi juga tampaknya diarahkan untuk mendukung kemunculan politik dinasti. Putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju dari Wali Kota Solo menjadi calon wakil presiden, sementara Kaesang Pangarep mendadak muncul sebagai Ketua Umum PSI. Keduanya menunjukkan gaya komunikasi politik yang sangat aktif di media sosial dan media arus utama.

Gibran merupakan contoh konkret permanent campaigning generasi muda. Ia membangun citra sebagai pemimpin muda dan responsif melalui unggahan media sosial yang terencana dan komunikatif. Ia kerap membagikan aktivitas pemerintahannya di Solo, membangun persepsi publik bahwa dirinya siap untuk posisi nasional. Bahkan sebelum kampanye resmi dimulai, nama dan wajahnya sudah dikenal luas oleh publik melalui berbagai eksposur media.

Kaesang Pangarep juga menggunakan strategi serupa, meski latar belakangnya bukan politisi. Kehadirannya di dunia politik dikemas melalui pendekatan santai, humoris, dan “anak muda banget” di media sosial. Narasi yang dibangun bukan berdasarkan pengalaman politik, melainkan identitas keluarga, gaya berkomunikasi yang kasual, dan kedekatannya dengan generasi muda. Ini menunjukkan bahwa strategi permanent campaigning dapat digunakan untuk membangun modal politik bahkan dari titik awal yang non-politis.

Sosok lain yang juga mempraktikkan permanent campaigning adalah Anies Baswedan. Sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies membangun citra sebagai pemimpin yang visioner dan intelektual. Ia menggunakan bahasa simbolik, retoris, dan menyasar segmen pemilih terdidik. Bahkan setelah jabatannya berakhir, Anies tetap aktif di ruang publik, memberikan pandangan di forum-forum nasional, dan mempertahankan komunikasi digitalnya, memperkuat posisinya sebagai calon potensial dalam kontestasi nasional.

Secara teoritis, strategi permanent campaigning memiliki nilai positif. Ia menciptakan pejabat publik yang lebih sadar akan pentingnya komunikasi dan transparansi kepada rakyat. Pejabat menjadi lebih sensitif terhadap persepsi masyarakat dan menjaga koneksi dengan konstituen. Hal ini bisa menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, membentuk ruang partisipasi publik yang lebih luas dalam mengawasi kinerja pemimpin.

Namun di sisi lain, strategi ini juga menyimpan risiko besar. Ketika pencitraan menjadi lebih penting dari substansi, kebijakan publik berpotensi dibuat demi kepentingan elektoral semata. Keputusan yang bersifat populis lebih diprioritaskan, meskipun tidak berdampak jangka panjang. Keberlanjutan pembangunan dan reformasi struktural dapat terhambat oleh kepentingan jangka pendek untuk mempertahankan citra positif.

Lebih dari itu, permanent campaigning dapat berujung pada penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan politik pribadi. Ketika acara-acara resmi pemerintahan dikemas sebagai panggung politik personal, bahkan saat pemilu belum berlangsung, hal ini menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan integritas demokrasi. Penggunaan anggaran publik atau program sosial untuk membangun elektabilitas juga menjadi ancaman serius bagi etika bernegara.

Dalam konteks ini, masyarakat memiliki peran penting untuk menjadi pengawas yang kritis. Generasi muda, khususnya Gen Z, harus memiliki literasi politik dan digital yang memadai agar tidak hanya menjadi konsumen konten politik, tetapi juga penilai yang rasional. Mereka perlu memahami bahwa tidak semua yang terlihat “dekat dengan rakyat” benar-benar mencerminkan kinerja yang substantif.

Di tengah maraknya narasi visual dan manipulasi media sosial, masyarakat perlu mempertanyakan, apakah kebijakan yang dijalankan benar-benar untuk kepentingan rakyat atau hanya bagian dari strategi mempertahankan kekuasaan? Apakah citra yang dibangun mencerminkan kenyataan atau hanya permainan komunikasi? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk menjaga kualitas demokrasi dari jebakan populisme digital.

Permanent campaigning pada dasarnya adalah alat. Ia bisa digunakan untuk membangun hubungan positif antara pemimpin dan rakyat, namun juga bisa menjadi senjata politik yang membahayakan jika tidak dikendalikan. Dalam sistem demokrasi, keberimbangan antara komunikasi politik dan substansi kebijakan harus dijaga agar rakyat tidak hanya tertarik oleh pencitraan, tetapi juga mendapatkan hasil nyata dari kepemimpinan yang dijalankan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa permanent campaigning adalah fenomena politik yang tidak dapat dihindari dalam era digital. Strategi ini sudah menjadi bagian dari keseharian politik kontemporer, termasuk di Indonesia. Tantangan utamanya bukan menghentikan praktik ini, melainkan memastikan bahwa ia digunakan secara sehat, transparan, dan tetap dalam koridor etika demokrasi yang adil dan substantif.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *